TAKWA itu ‘pangkat’ paling tinggi seorang mukmin. Takwa itu bukan proses dan dinamika, tapi hasil akhir yang ada dalam diri seorang mukmin.
Suatu kali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasihat. Bahwa, seorang mukmin saudara mukmin. Tidak boleh menzalimi, mendustai, merendahkan, dan seterusnya.
Di akhir nasihat, Nabi mengatakan, “Takwa itu ada di sini!” sambil beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menepuk dadanya tiga kali, tanda menunjukkan hati.
Itulah takwa. Tidak bisa disimbolkan dengan busana, kecuali yang memang wajib dalam menutup aurat. Bukan pula dalam nama dan penampilan.
Takwa juga bukan gelar pendidikan. Tidak bisa disematkan oleh guru kepada murid, oleh kiyai kepada santrinya.
Sebagian orang yang ingin ‘berselancar’ di masyarakat muslim kadang memanfaatkan ‘cap takwa’ untuk meraih target-target pribadi, seperti capaian politik, kedudukan di masyarakat dan lainnya.
Ada yang menjelang pemilu sering berkunjung ke pesantren-pesantren. Ada yang tiba-tiba sering mengenakan baju koko dan sorban, dan lainnya.
Takwa bukan di simbol-simbol itu semua. Takwa menurut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam letaknya ada dalam hati. Dan hanya Allah yang mengetahui keadaan hati seseorang.
Kalau Al-Qur’an menghubungkan akhir dari sebuah perintah ibadah kepada takwa, seperti perintah puasa Ramadan yang disebut dengan la’allakum tattaqun, agar kalian menjadi bertakwa. Dalam sisi berbeda, justru kebaikan dan ketulusan seorang mukmin kepada saudaranya disebut Nabi sebagai ciri orang bertakwa.
Dengan kata lain, ibadah adalah jalan menuju takwa. Dan hubungan yang sangat baik terhadap sesama mukmin adalah bukti dari takwa itu sendiri.
Jika ada seseorang yang merasa dirinya sudah sangat bagus dalam ibadah, tapi masih menzalimi, merendahkan sesama mukmin tentu menunjukkan hal yang lain.
Bahkan terhadap hewan seperti kucing pun. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa ada wanita solihah masuk neraka karena menyiksa seekor kucing.
Jadi, bukti takwa itu bukan pada simbol-simbol seperti pada busana dan penampilan. Tapi pada perilaku asli seseorang yang tidak dibuat-buat.
Jadi, jagalah persaudaraan sesama mukmin, rendahkanlah hati kita di hadapan mereka. Dan doakanlah kebaikan untuk mereka tanpa sepengetahuan orang banyak. [Mh]