SEEKOR burung murai berada di sebuah sangkar milik pencinta burung. Keindahan warna-warni bulunya begitu mempesona. Kicauannya pun tak pernah membuat bosan sang pemilik.
Si Murai sebenarnya sangat senang hidup bersama pemiliknya. Ia merasa begitu disayang. Sejak bayi sang pemilik merawatnya dengan tekun hingga kini ia besar.
Sangkarnya bukan hanya besar. Tapi juga indah dan nyaman. Ia mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan selalu melantunkan kicauan yang merdu.
Beberapa waktu berlalu. Rasanya, masih ada yang kurang. Ya, ia butuh teman hidup.
Si pemilik Murai pun menangkap kegelisahan burung kesayangannya itu. Satu atau dua hari kemudian, ada Murai cantik kini tinggal bersamanya.
Sepasang Murai itu pun kerap melantunkan kicauan merdu menunjukkan rasa bahagianya. Tapi hari-hari berikutnya terasa berbeda. Ia masih merasa ada yang kurang.
Sang pemilik Murai lagi-lagi menangkap kegelisahan itu. Tapi kali ini, harapan Murai begitu berat untuk dipenuhi. Yaitu, keinginan untuk hidup bebas di alam luas.
Namun karena sayangnya, sang pemilik rela mengorbankan egonya. Sang Murai dan pasangannya pun dilepas.
Hidup di alam bebas ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus bersusah payah mencari makanan. Hal yang biasanya sudah tersedia di setiap waktu saat ia butuhkan.
Ia pun harus sangat berhati-hati di setiap momen gerak-geriknya. Selain pemangsa, ada pemburu yang selalu mengincarnya. Bahkan di saat malam untuk istirahat pun, kini ia harus sering terjaga.
“Ah, rasanya masih ada yang kurang…,” ungkap batinnya.
**
Selalu ada yang kurang dalam hidup ini. Bahkan, hidup ini dirancang selalu dalam kekurangan agar menjadi ujian, siapa di antara kita yang baik amalnya.
Ada ruang-ruang kebutuhan yang berbeda satu dengan lain. Semua menuntut untuk dipenuhi. Ada kebutuhan fisik, karena itulah dibutuhkan sarana yang serba cukup.
Ada juga ruang hati dan jiwa, juga sama-sama menuntut untuk dipenuhi kebutuhannya.
Tiada hari tanpa tuntutan-tuntutan itu. Sekali lagi, selengkap apa pun yang dicukupkan, selalu terasa akan ada yang masih kurang.
Boleh jadi, hidup ini memang bukan untuk usaha memenuhi kekurangan. Sebaliknya, sebagai latihan untuk menikmati kekurangan.
Jadi, cukup itu bukan dalam arti terpenuhinya segala kebutuhan, karena hal itu tak akan pernah terjadi.
Cukup itu adalah ketika hati begitu menikmati segala kekurangan. Dan bukan terus terseok-seok dalam upaya memenuhi kekurangan. [Mh]