BEBERAPA hari terakhir ini publik dihebohkan dengan istilah cawe-cawe. Apa sih cawe-cawe itu?
Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, cawe-cawe artinya ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan) dan ikut menangani.
Dengan kata lain, cawe-cawe adalah kesibukan yang dilakukan seseorang yang bukan urusan atau tugasnya. Bagus atau salahkah?
Jawabannya sangat tergantung dengan konteks. Jika ada seseorang yang cawe-cawe terhadap tetangganya, mungkin akan terasa kurang bagus.
Misalnya, dia menanyakan berapa penghasilan tetangganya, apakah penghasilan itu cukup untuk hidup layak, dan seterusnya. Cawe-cawe jenis ini bukan hanya kurang bagus, tapi juga menyusahkan orang lain.
Contoh lain, jika ada tukang parkir yang cawe-cawe menyeberangkan anak-anak sekolah di jalan raya, hal ini sangat bagus dan mulia.
Ketika ada orang tua yang cawe-cawe mengurus jodoh anak-anaknya, hal ini juga bagus. Dan dalam konteks ini, penggunaan kata cawe-cawe tidak tepat karena hal itu memang bagian dari kewajiban orang tua.
Tapi jika orang tua cawe-cawe mengurus warna cat tembok rumah anaknya, ini kurang bagus. Karena hal itu akan menjadikan rumah tangga anaknya menjadi terganggu.
Jadi pada umumnya, cawe-cawe itu bermakna negatif. Selain karena mengintervensi urusan orang lain, juga melalaikan urusan dirinya sendiri.
Bagaimana dengan seorang raja yang cawe-cawe menyiapkan putera mahkota, seperti di negara Arab?
Karena itu negara kerajaan, menyiapkan putera mahkota tidak tepat jika disebut cawe-cawe. Bahkan bisa dibilang kewajiban sebagai seorang raja untuk menyiapkan penerusnya.
Begitu pun seorang pemilik perusahaan yang menyiapkan siapa calon penerusnya. Ini bukan disebut cawe-cawe, karena sudah menjadi hak dan kewajibannya untuk keberlangsungan usahanya.
Lalu, bagaimana jika seorang wali kota atau gubernur yang cawe-cawe menyiapkan penerusnya?
Jawabannya tentu menjadi negatif. Hal ini karena wali kota atau gubernur bukan pemilik posisi jabatan itu. Melainkan sebagai petugas yang diberikan mandat oleh rakyat.
Ketika masa tugasnya sudah selesai, ia harus menyerahkan kembali mandat itu ke pemiliknya, yaitu rakyat. Rakyatlah yang nantinya akan memilih, siapa pejabat berikutnya.
Jadi, dalam hal jabatan untuk mengurus rakyat, hanya raja yang boleh bahkan berkewajiban cawe-cawe menyiapkan penerusnya.
Kalau ada pejabat publik yang ditugaskan oleh rakyat cawe-cawe menyiapkan penerusnya di saat masa tugasnya akan berakhir, sama saja ia menganggap dirinya seperti raja. Bukan seseorang yang ditugaskan atau diberi mandat oleh rakyat. [Mh]