KITA sering kali mendengar kata-kata pergi haji jika mampu. Lalu bagaimana esensi mampu berhaji dan tolak ukurnya?
Konotasi mampu seringkali menjadi polemik panjang, yakni sampai sejauh mana kita boleh memaknai mampu dalam ibadah haji ini.
Ada yang berpatokan kepada kemampuan finansial saja, ada yang berpatokan kepada kemampuan fisik, bahkan ada yang menyarankan kalau masih mampu berhutang dan melunasi hutangnya maka berhajilah.
Lalu bagaimana dengan fakta di tanah air dimana orang yang terjadwal untuk berangkat haji sudah masuk usia 70 tahun ke atas?
Kita yakin mungkin secara finansial mereka telah lunas membayar, tapi secara fisik mereka tau kapasitasnya secara umum, karena sejatinya ibadah haji itu sarat dengan forsir tenaga.
Sebenarnya semua berangkat dari firman Allah SWT berikut :
Dari ayat ini para ulama memberikan sejumlah keterangan tentang maksud “istitha’ah” atau mampu dalam ibadah haji.
Baca Juga : Pria Asal Austria Ini Berjalan Kaki Menuju Mekkah untuk Melaksanakan Ibadah Haji
Esensi Mampu Berhaji
Patokan utama adalah keterangan klasik para ulama dari hadist, dimana Rasulullah SAW ditanya tentang apa yang mewajibkan haji, maka Rasul menjawab “az zaadu war rahilah” yakni perbekalan dan kendaraan.
kemudian dianalogikanlah esensi dari mampu bekal dan kendaraan ini kepada mampu dalam finansial, keamanan perjalanan, hingga pada status kesehatan dan kekuatan fisik.
Dalam praktek kekinian, keterbatasan fisik dalam menjalankan ibadah haji bukan menjadi patokan ketidak bolehan seseorang berangkat haji.
Faktanya di tanah air pemerintah tetap memberangkatkan mereka yang sudah berusia udzur untuk berangkat ke tanah suci.
Pertimbangannya adalah sepanjang mereka yang telah lunas bayar, sudah masuk kuotanya, masa antrinya telah habis, dan tidak mengidap penyakit yang terlalu serius, maka boleh berangkat.
Urusan kemampuan melakukan ritualnya itu nomor dua, karena masih bisa didorong dengan kursi roda untuk thawaf dan sa’inya, bahkan untuk jumrohnya bisa dibadalkan (digantikan) oleh orang lain.
Lalu terkait kemampuan finansial, tidak ada ketentuan harus dari uang sendiri baru sah berhaji. Bahkan ada kaidah yang mengatakan bahwa setiap ibadah dimana harta dianggap sebagai penentunya, maka yang dianggap adalah kepemilikannya, bukan bagaimana kemampuan memilikinya. [MRR]
Sumber : Perihal Penting Haji Yang Sering Ditanyakan, oleh : Firman Arifandi