MENGAPA seseorang melakukan flexing? Apa yang menjadi penyebab flexing? Saat ini, entah sudah berapa banyak flexing yang kita dengar di pemberitaan berujung bui. Contohnya perilaku Mario Dandy Satrio, anak pejabat Ditjen Pajak Rafael Aulun Trisambodo, yang kerap memamerkan berbagai barang mewah di media sosial menarik perhatian masyarakat luas.
Baca Juga: Psikologi Populer: Yuk Simak Arti Kata Flexing, Ruminasi, Narsistik hingga FOMO
Penyebab Flexing, Ini Kata Dosen UGM
Pengamat psikologi sosial UGM, Lu’luatul Chizanah, S.Psi., M.A., mengatakan perilaku Mario Dandy yang gemar membagi konten tentang barang-barang mewah yang dimiliki merupakan tindakan flexing.
Tindakan ini sengaja dilakukan untuk menunjukkan kepemilikan material maupun properti yang dianggap bernilai bagi kebanyakan orang.
“Flexing menjadi fenomena yang mencuat seiring dengan perkembangan media sosial. Kehadiran media sosial memberi kesempatan bagi orang-orang untuk lebih menunjukkan diri atas kepemilikan material atau properti yang dianggap memiliki nilai bagi kebanyakan orang,” jelasnya, Selasa (28/2) seperti dikutip dari laman UGM.
Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menyebutkan orang yang melakukan flexing di media sosial salah satunya ditujukan untuk mendapatkan pengakuan dalam kelompok.
Dalam konteks pembentukan relasi atau pertemanan, membutuhkan pengakuan agar bisa diterima di lingkungan tertentu.
“Teknik manajemen impresi dengan memamerkan barang-barang mewah dilakukan untuk membuktikan jika ia layak masuk dalam komunitas tertentu. Harapannya dengan memamerkan tas branded maka orang lain akan menilai saya layak masuk kalangan elite,”paparnya.
Orang yang menunjukkan perilaku flexing di media sosial disampaikan Lu’luatul Chizanah mengindikasikan self esteem atau harga diri yang lemah.
Tanpa disadari orang yang kerap melakukan flexing sebenarnya tidak mempunyai kepercayaan terhadap nilai dirinya. Flexing dilakukan sebagai upaya untuk menutupi kekurangan harga diri dengan membuat orang lain terkesan.
“Dengan memposting sesuatu yang dinilai berharga bagi kebanyakan orang dan di-like ini seperti divalidasi, merasa hebat dan berharga karena orang-orang menjadi kagum pada dirinya,” terangnya.
Lu’luatul Chizanah menyampaikan perilaku flexing bisa menimbulkan pandangan yang tidak tepat di masyarakat terkait kepemilikan material. Sebab apa yang di unggah oleh pelaku flexing bisa dipercayai oleh pengguna media sosial akan pentingnya kepemilikan material.
“Bisa terbentuk pandangan, akan dihargai kalau punya sesuatu. Ini kan jadi pemahaman yang berbahaya sementara aspek lainnya akan diabaikan,” ucapnya.
Perilaku flexing ini juga akan berdampak buruk ke arah impulsif buying. Seseorang akan menjadi sangat impulsif untuk membeli barang-barang branded hanya untuk flexing.
Apabila flexing ditujukan untuk mengatasi self esteem rendah, maka hal tersebut hanya bersifat semu dan tidak berujung sert abersifat adiktif. Flexing justru menghalangi seseorang untuk mengatasi self esteem secara efektif.
“Kalau flexing dilakukan sebagai awal pemantik perhatian dan selanjutnya menunjukkan sesuatu yang lebih esensial seperti kompetensi, personaliti yang baik itu tidak masalah.
Akan jadi masalah jika flexing ini jadi satu-satunya cara untuk manajemen impresi, jadi toksik bagi diri sendiri,”urainya.
Lu’luatul Chizanah mengatakan tindakan tidak mengkomparasikan diri dengan orang lain yang berada diatas dirinya bisa menjadi salah satu cara untuk mencegah seseorang agar tidak terjebak pada perilaku felxing.
“Coba untuk melihat ke bawah, jangan ke atas terus karena akan ada dorongan untuk flexing jika melihat ke atas. Kalau melihat ke bawah justru akan muncul rasa syukur,” katanya.
Ia menambahkan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menunjukkan perilaku flexing. Kemampuan mengelola diri untuk melakukan flexing atau tidak menjadi sangat penting.
“Flexing untuk menunjukkan pencapaian, sesekali tidak apa. Namun, saat kalau tidak posting menjadi cemas ini harus jadi alarm diri,” terangnya. [Cms]