BERAPA ketentuan jarak seseorang dikatakan sebagai musafir sehingga dibolehkan tidak berpuasa dan mengqashar shalat? Sebagian Ulama berpendapat bahwa batasannya adalah empat burud.
1. Ini adalah madzhab sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma dan Ibnu Umar radhiyallahuanhuma dan ini juga madzhab Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Al-Imam Assyafi’i dan jumhur (mayoritas) ulama.
Baca Juga: Jarak Bolehnya Meng-qashar Shalat
Berapa Ketentuan Jarak Seseorang Dikatakan Sebagai Musafir sehingga Dibolehkan Tidak Berpuasa dan Mengqashar Shalat?
Ini adalah fatwa Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma dan Ibnu Umar radhiyallahuanhuma sebagaimana dengan sanad-sanad yang shahih dari mereka, di dalam mushannaf Abdurrazaq, mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah didalam shahihnya menyebutkan dengan sighah ta’liq (tanpa sanad) :
“Bahwa mereka berpendapat perjalanan dengan jarak empat burud adalah keringanan yang dibolehkan untuk mengqashar shalat dan dibolehkan untuk tidak berpuasa bagi yang berpuasa.”
Satu burud adalah empat farsakh, empat burud adalah enam belas farsakh dan satu farsakh adalah tiga mil, dan keseluruhannya adalah empat puluh delapan mil, sekitar delapan puluh km.
Dan telah datang hadits yang marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
يا أهل مكة لا تقصروا الصلاة في أدنى من أربعة برد من مكة إلى عسفان
Artinya:
“Wahai penduduk makkah janganlah kalian mengqashar shalat dalam perjalanan kurang dari empat burud dari mekkah menuju ‘Usfan”
(Dikeluarkan oleh Addaraquthni, Aththabrani didalam Al-Kabir dan Al-Baihaqi)
Dan ini adalah hadits yang lemah, tidak ada hadits yang shahih sedikit pun dalam hal ini, oleh karena ini ketika Al-Baihaqi membawakan hadits ini didalam sunannya, beliau berkata:
“Ini adalah hadits yang lemah.”
Karena hadits ini melalui jalan Ismail Ibnu Ayyasy dan didalamnya terdapat Abdul wahhab Ibnu Al-Mujahid, dia adalah seorang yang lemah, namun Al-Baihaqi rahimahullah berkata:
“Yang benar adalah ini perkataan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma.”
Yang benar adalah ini ucapan Ibnu Abbas sebagaimana di dalam Ibnu Abi Syaibah, Abdurrazaq didalam mushannaf, dan Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan didalam shahihnya dengan sighah ta’liq(tanpa sanad) dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahuanhuma.
2. Pendapat kedua adalah tanpa batasan, dan hal ini kembali kepada kebiasaan manusia, apabila manusia (setempat) menganggap perjalanan ini sebagai safar, maka dikatakan safar, sehingga boleh untuk tidak berpuasa dan mengqashar shalat.
Ini adalah pendapat Adzdzahiriyyah, dan pendapat ini disandarkan kepada sekumpulan sahabat, dan di antara ulama muhaqqiqin adalah Ibnu Qudamah Al-Hanbali rahimahullah, Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahullah.
Mereka berdalil dengan keumuman dalil-dalil tentang safar dan musafir, tidak menyebutkan batasan, maka dalam hal ini dikemb-alikan pada ‘urf (kebiasaan) manusia.
3. Pendapat Abu Hanifah, dan disandarkan kepada sebagian sahabat seperti Ibnu Mas’ud dan juga sebagian tabi’in seperti Sa’id Ibnu Jubair, dan Atstsauri.
Dalil mereka adalah hadits yang shahih
لاَ تُسَافِرُ الْـمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
Artinya:
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”
Namun hadits ini datang dengan banyak riwayat, disebutkan sehari semalam, disebutkan pula satu hari, bagaimana mungkin kita mengkhususkan riwayat yang banyak⁉
Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Fatwa sahabat yang mulia Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma lebih pantas untuk kita berpegang teguh terhadapnya. [Cms]
Faidah dari Assyaikh Arafaat Ibnu Al-Hasan Al-Muhammadi hafidzahullah
Abu Fudhail Abdurrahman Ibnu Umarغفر الرحمن له.
https://t.me/alfudhail