ORANG kaya umumnya banyak imajinasi. Rumahnya seperti apa, mobilnya bagaimana, dan seterusnya. Sayangnya, imajinasinya selalu berputar di urusan duniawi.
Kalau dibandingkan antara orang kaya dan miskin tentang imajinasi keduanya, bisa dibilang, orang kaya jauh lebih banyak. Orang kaya lebih banyak sumber daya yang bisa diimajinasikan.
Sementara orang miskin, imajinasinya sangat terbatas. Kalau ditanya mau belanja apa? Umumnya akan bilang, yang penting ada beras, bisa bayar listrik, ada bayaran sekolah anak; rasanya itu sangat cukup.
Kalau orang miskin dipaksa untuk berimajinasi untuk bisa beli vila di pegunungan, rasanya sangat susah. Jangankan berimajinasi, terbayang juga tidak. Paling-paling hanya mengkhayal.
Silahkan tanya-tanya dengan orang desa yang tinggal di lereng gunung, tentang makanan apa yang paling enak menurut mereka. Rasanya, tidak akan ada yang menyebut steak, fizza, duren montong, dan lainnya.
Bagi mereka, imajinasi yang paling pas adalah bisa hidup tenang, aman dan tenteram, tidak kelaparan, dan sehat wal afiat.
Bagi mereka, semua hari sama saja. Mau hari kerja atau weekend, rasanya tidak ada bedanya. Waktu untuk berimajinasi mereka sangat terbatas karena terkubur dengan kesibukan kerja keras.
Bagaimana dengan orang kaya? Imajinasi bagi mereka seperti udara yang tidak pernah ada habisnya. Belum lama beli barang mewah, tapi karena keluar tipe baru yang lebih kekinian, imajinasi pun menuntunnya untuk beli lagi.
Ada seorang ibu yang mau meminta doa kepada seorang kiyai agar bisa menjadi orang kaya. “Pak Kiyai, tolong doakan suami saya agar bisa kaya,” ucapnya.
“Ibu serius mau didoakan agar suami jadi orang kaya?” ucap sang kiyai.
“Lha, memang kenapa, Pak Kiyai?” tanya sang ibu.
“Bu, kalau suami ibu kaya, maka ia akan mengevaluasi rumah untuk direnovasi atau beli baru. Setelah itu, ia akan evaluasi kendaraan, agar bisa beli yang mewah.
“Tapi setelah itu, ibu yang akan ia evaluasi: apa cukup satu, atau sebaiknya tambah dengan yang baru,” pungkas Pak Kiyai.
Ibu itu pun tertegun. “Waduh, kalau begitu, ndak jadi lah doanya, Pak Kiyai,” sergah sang ibu.
Itulah imajinasi yang selalu berkumpul di hati orang kaya. Sayangnya, imajinasi mereka umumnya tak jauh dari urusan duniawi.
Hal itu wajar. Karena mereka disebut kaya memang sebatas dalam ruang lingkup kebendaan atau materi. Bukan pada jiwanya.
Di sinilah skala prioritas hidup yang mesti kita urutkan. Kayakan dulu jiwa kita, baru setelah itu tentang materinya.
Tapi biasanya, orang yang jiwanya sudah sangat kaya, ia merasa tak perlu untuk memperoleh kekayaan materi.
Karena imajinasi kekayaan jiwa adalah tentang keabadian di akhirat sana. Sementara imajinasi kekayaan materi hanya berkutat pada aksesoris hidup yang hanya fatamorgana. Semakin dikejar, semakin terasa jauh kepuasan itu.
Bersyukurlah dengan apa yang kini Allah anugerahkan untuk kita. Kayakan hati dan jiwa kita dengan selalu berdekat-dekat dengan Allah. Dan biarkan imajinasi kita terbang tinggi untuk meraih yang di langit, daripada menumpuk semua yang semu di bumi. [Mh]