ADA yang berbeda dengan ajang piala dunia sepak bola saat ini. Sebagai tuan rumah, Qatar mengenalkan dunia tentang keindahan Islam.
Awalnya sepak bola dunia seperti canggung untuk hadir di Qatar. Mereka merasakan ada yang lain dari Qatar di banding dengan negara-negara tuan rumah sebelumnya.
Hal ini karena konstitusi Qatar mengacu pada syariat Islam. Dan Qatar menjadikan konstitusi itu bukan sekadar formalitas. Lain di tulisan, lain di pengamalan.
Setidaknya, ada tiga hal yang mencolok dalam kaca mata dunia tentang konstitusi Qatar. Yaitu, larangan LGBT, larangan alkohol, dan perzinahan.
Tiga hal itu merupakan ‘makanan’ sehari-hari umumnya warga dunia selain negeri-negeri Islam. Mulai dari Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika. Termasuk juga Amerika latin di mana habitat bola tumbuh subur.
Sebagian kalangan menilai pesimistis Qatar akan tegas tentang tiga larangan itu. Sebagian lain sudah mulai ancang-ancang untuk melawan aturan yang berlaku di Qatar.
Beberapa negara Eropa seperti Jerman, Polandia, Prancis, Belanda, dan lainnya bahkan sudah membuat pita atau ban simbol kapten kesebalasan dengan logo LGBT.
Mereka mengira Qatar tak lebih dari negara kecil yang bisa dipengaruhi dan diperdaya melalui pandangan superioritas dunia sepak bola terhadap mereka. Qatar menurut mereka, pasti akan takluk.
Mereka juga akan mengira Qatar akan ‘menyembunyikan’ identitas Islamnya. Pendek kata, mereka meyakini Qatar tak lebih dari negeri-negeri mayoritas muslim lainnya yang sudah mengenyampingkan keislamannya.
Ternyata, dugaan mereka salah besar. Justru, Qatar seperti sedang memanfaatkan ajang piala dunia sepak bola untuk mengenalkan Islam pada mereka. Secara jelas, tanpa tedeng aling.
Hal itu terlihat dari acara pembukaan yang diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran. Penolakan kedatangan pesawat timnas Jerman yang memaksakan diri datang dengan pesawat bersimbol LGBT.
Bukan itu saja. Qatar sudah menyiapkan ‘jaring-jaring’ Islamisasi melalui berbagai saluran informasi. Mulai dari display di tempat publik, link-link di internet, hingga para dai yang siap ‘menjemput bola’ di lapangan.
Hanya dalam beberapa hari setelah pembukaan, dikabarkan hampir seribu orang sudah menyatakan diri masuk Islam. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia yang hadir di ajang sepak bola itu.
Ada warga Meksiko yang terheran-heran dengan suara keras tapi berirama indah yang sudah terdengar di pagi buta. Mereka mencari sumber suara itu. Ternyata itu suara panggilan azan Subuh.
Mereka pun mendapatkan penjelasan oleh para dai tentang apa itu shalat, hikmahnya, dan lain-lain. Ada di antara mereka yang langsung menyatakan diri masuk Islam ketika takjub dengan pemandangan di depan masjid.
Setelah mereka mengucapkan dua kalimat syahadat, warga Meksiko dengan berkaos bola itu pun terharu karena mendapat pelukan hangat dari dai yang mengenakan gamis warna putih.
Begitu pun dengan sejumlah warga Brazil yang satu keluarga menyatakan diri masuk Islam. Ketika ditanya apakah mereka terpaksa atau dipaksa, semuanya tersenyum sambil menggeleng kepala.
Kapten kesebelasan Prancis, Hugo Llioris, juga akhirnya memaklumi semua aturan yang telah ditetapkan Qatar. “Sudah sepatutnya kita menghormati budaya tuan rumah, sebagaimana kita pun ingin dimaklumi jika pada posisi yang sama dengan Qatar,” ucap Kapten yang juga sebagai penjaga gawang ini.
Apa yang dilakukan Qatar tentu sangat luar biasa. Seluar biasa biaya yang telah digelontorkan sebesar lebih dari tiga ribu triliun rupiah untuk pesta olah raga ini.
Tapi buat Qatar, nilai itu mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan Islamisasi yang mereka lakukan terhadap dunia sepak bola. [Mh]