AIR mata mereka abadi dalam firman-Nya. Pemilik air mata ini bukanlah sosok-sosok yang masyhur namanya. Bukan pula orang-orang yang harum dikenal dengan harta dan kedermawanannya.
Baca Juga: Air Mata di Sudut Mata Ini
Air Mata Mereka Abadi dalam Firman-Nya
Sebaliknya, mereka hanyalah sekelompok kecil dari kalangan fuqara (fakir) kaum muslimin.
Dan inilah kisah mereka.
Dikutip dari laman Forum Salafy.net, di tengah kemarau panjang, Perang Tabuk datang membayang.
Minimnya perbekalan dan kendaraan semakin mempersulit kondisi pasukan tauhid ketika itu.
Namun, terik dan panas matahari justru membakar semangat juang para sahabat, sekalipun kaum munafikin tiada henti terus menggembosi.
Saat beberapa cakupan tangan dari buah kurma tampak disedekahkan, orang-orang munafik berkomentar, “Allah tidak butuh dengan sedekah yang sedikit itu.”
Manakala sejumlah harta yang tidak sedikit diinfakkan, kaum munafik pun mencacat, “Sedekah yang banyak itu hanyalah demi mengharap pujian manusia semata.”
Demikian keji dan sombong ucapan orang-orang munafik itu.
Namun, kebaikan pantanglah surut. Silih berganti yang berharta datang berderma sesuai dengan apa yang mereka punya.
Menginfakkannya demi meraih ridha Allah ta’ala semata.
Adapun mereka yang tiada berharta, tetap tegak dada mereka. Sigap dengan tunggangan perangnya. Siap turun ke medan laga.
Kalbu-kalbu yang disinari cahaya keimanan itu sedikit pun tiada meredup. Pemandangan yang ada benar-benar sarat semangat juang.
Bumi Madinah tampak kokoh dengan pilar iman dan tawakal para sahabat. Tak ada kesedihan ataupun ketakutan.
Sebaliknya, aroma optimisme akan janji Allah benar-benar menyelimuti persiapan perang saat itu.
Hingga tibalah ketujuh orang itu, datang beriringan menjumpai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kepada beliau, mereka memohon dengan sangat.
Demi izinnya, mereka rajut harapan. Satu yang mereka pinta: agar turut disertakan dalam perjalanan jihad yang suci.
Di sisi lain, Tabuk bukanlah jarak yang dekat. Medan yang dilalui pun sangatlah berat.
Lembah yang membentang dan sahara yang terhampar menanti nun jauh di sana.
Keterbatasan hewan tunggangan saat itu tak menyisakan jatah bagi mereka sekalipun hanya sekadar untuk bergantian.
Mereka terus mengiba. Seakan tak rela bila sampai momen emas berjuang bersama Nabi terluputkan. Namun apa daya, Rasulullah yang penuh kasih tak sampai hati memaksakan keikutsertaan mereka.
Pada akhirnya,
َ لاَ أَجِدُ مَا أَحْمِلُكُمْ عَلَيْهِ
terucap dari lisan mulia beliau.
“Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawa kalian.”
Sebuah jawaban yang tak sedikit pun diharapkan oleh mereka. Bagaimana mungkin berharap penolakan?
Sementara mereka sadar, satu-satunya peluang untuk turut andil dalam peperangan kali ini hanyalah dengan sumbangsih raga dan nyawa yang mereka miliki.
Ketiadaan harta benda semakin membuat hati mereka terpukul. Bagaimana tidak?
Di tengah kondisi yang sangat sulit dan berat, tak ada derma terhatur, tidak pula raga dan tenaga terulur.
Keimanan yang jujur dalam sanubari membuat ketujuh orang ini merasa sedih.
Ketidakmampuan diri untuk berkorban benar-benar menyesakkan dada mereka.
Di saat itulah, air mata mereka menetes.
Tentang mereka, Allah ta’ala berkisah,
تَوَلَّواْ وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَناً أَلاَّ يَجِدُواْ مَا ينفقون
“Lalu mereka pun kembali dalam keadaan bercucuran air mata lantaran tidak memperoleh apa yang mereka nafkahkan untuk berjihad.”
Ya. Tangisan mereka terukir kekal dalam al-Quran.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
“Manakala Allah menyaksikan semangat mereka dalam mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah turunkan ayat ini (QS. at-Taubah: 91-93) sebagai wujud pemberian uzur untuk mereka.” (Lihat Umdah at-Tafsir ‘an al-Hafizh Ibn al-Katsir 2/189)
Sebuah tangisan lantaran ketidakmampuan dalam beramal ketaatan.
Sudahkah jenis air mata itu membasahi pelupuk mata kita?
(Disadur dari tafisr Surah at-Taubah dari kitab Tafsir al-Quran al-‘Azhim karya ulama ahli tafsir Ibnul Katsir rahimahullah)
[Cms]