ARAB Saudi tampaknya sedang ‘berbenah’. Hal ini kian tampak dari pemandangan yang dulunya nyaris tabu kini seperti ingin dianggap biasa.
Sejumlah kebijakan yang kini dianggap tidak lagi tabu antara lain perayaan Natal di sebagian wilayah, perayaan Halloween pada Oktober lalu, adanya konser musik kelas dunia, dibolehkannya bioskop, maraknya mal, dan lain-lain.
Bisa dibilang, hanya kawasan dua kota suci, Mekah dan Madinah, yang tampak masih orisinil. Memang di dua kota itu sudah banyak dibangun mal, tapi kegiatan di dalamnya tidak sebebas yang ada di kota-kota lain seperti di Riyadh.
Memang, ada ketentuan di sana tentang apa yang boleh dan tidak boleh di tanah haram. Antara lain, kewajiban mengenakan hijab untuk wanita. Yang dimaksud dengan tanah haram adalah wilayah di sekitar Mekah dan Madinah.
Sementara di luar itu, disebut dengan tanah halal. Apa yang tidak boleh di tanah haram, bisa menjadi boleh di tanah halal. Seperti membuka aurat untuk wanita, dan lainnya.
Seiring dengan perubahan arah kebijakan baru-baru ini, tiba-tiba dunia Islam disuguhkan dengan pemandangan lain yang memprihatinkan. Yaitu, ditangkapnya sejumlah ulama yang dianggap ‘garis keras’.
Di antara yang terbaru adalah apa yang dialami salah seorang Imam Masjidil Haram, Syaikh Ath-Thalib. Beliau telah dijatuhi vonis kurungan penjara selama 10 tahun. Padahal, pengadilan di level lebih rendah telah membebaskannya.
Pihak kerajaan memang tidak secara jelas mengungkapkan delik hukumnya. Tapi diduga, Syaikh Ath-Thalib didakwa karena isi khutbahnya pada tahun 2018 lalu. Saat itu, ia menyampaikan tema kewajiban dalam Islam untuk menentang kemaksiatan di depan umum.
Sejak tahun 2017 lalu, atau ketika Muhammad bin Salman (MBS) mulai berkuasa, sudah puluhan ulama Saudi yang masuk penjara. Hal ini seiring dengan kebijakan MBS untuk melakukan ‘modernisasi’ Arab Saudi.
Dalam sebuah wawancara dengan The Atlantic tahun lalu, MBS menegaskan bahwa paham ‘garis keras’ sudah berlalu. Apa yang disebut paham Wahabi oleh sebagian orang, kini dikabarkan sudah mulai tidak lagi dominan.
“Hari ini, tak boleh ada satu pihak pun yang memaksakan ajaran mereka yang menjadikannya satu-satunya paham di Saudi,” pungkas MBS di media tersebut.
Pernyataan dan sikap MBS ini memang pro dan kontra. Ada yang memandangnya sebagai reformasi dan modernisasi, tapi ada juga yang memandangnya sebagai pelemahan prinsip Islam.
Apa yang pernah menggemparkan juga pernah terjadi di masa pelaksanaan ibadah haji beberapa bulan lalu. Yaitu, ketika media Israel tiba-tiba menayangkan pelaksanaan ibadah haji termasuk wukuf di Arafah.
Bagaimana mungkin sebuah media non muslim dalam hal ini Israel bisa dibolehkan masuk ke pelaksanaan ibadah haji yang khusus untuk umat Islam? Apa mereka dapat izin dari kerajaan?
Sang wartawan pun mengaku bahwa mereka bisa masuk karena menjadi bagian dari rombongan kunjungan Presiden AS, Biden, ke Arab Saudi yang waktunya hampir bersamaan dengan ibadah Haji.
Entah hal mengejutkan apa lagi yang akan terekspos dari Arab Saudi, setelah dibolehkannya perayaan Natal dan Halloween?
Sebagian orang menilai, inikah apa yang disebut dengan tanda-tanda kian dekatnya hari Kiamat? Wallahu a’lam. Yang jelas, keterkejutan-keterkejutan umat Islam tentang Arab Saudi sepertinya belum akan berakhir seiring terus dilakukannya ‘pembenahan’. [Mh]