ROKOK memiliki pengaruh buruk terhadap kenaikan angka stunting. Hal ini karena asap rokok dapat memengaruhi prenatal dan postnatal, sehingga pada laki-laki dapat menurunkan kualitas sperma.
Berdasarkan laporan dari BKKBN dalam Journal of Obstetric, Gynecologic & Neonatal Nursing Tahun 2006, asap rokok dapat mengurangi testis, nekrosis testits, berkurangnya diameter tubulus seminiferous dan vasokontrisi pembuluh darah juga mempengaruhi pengambilan oksigen selama metabolisme.
Dalam banyak penelitian juga dikatakan bahwa selain tubulus seminiferous menurun, jumlah spermatozoa yang dihasilkan juga menjadi lebih sedikit dari yang tidak mengalami perlakuan.
Baca Juga: 5 Langkah Mencegah Stunting Mulai Masa Kehamilan Hingga Bayi Lahir
Pengaruh Buruk Rokok Terhadap Kenaikan Angka Stunting
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), DR (H.C). dr. Hasto Wardoyo, SpOG (K) mengatakan,
“Paparan asap rokok meningkatkan risiko stunting pada anak berusia 25-59 bulan sebesar 13.49 kali. Selain itu, paparan asap rokok meningkatkan terjadinya ectopic pregnancy dan sudden infant death syndrome,” jelasnya.
Berdasarkan kajian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia membuktikan bahwa konsumsi rokok pada orang tua mengakibatkan anak stunting, Kejadian yang paling banyak ditemui di keluarga miskin ini merupakan temuan yang mengejutkan dan penting untuk segera ditindaklanjuti.
P2PTM Kemenkes RI menyebutkan perilaku merokok pada orangtua diperkirakan berpengaruh pada anak stunting dengan dua cara:
Yang bertama, melalui asap rokok orang tua perokok yang memberi efek langsung pada tumbuh kembang anak. Seperti yang disebutkan oleh Dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH, “Asap rokok mengganggu penyerapan gizi pada anak, yang pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembangnya.”
Yang kedua, dilihat dari sisi biaya belanja rokok, membuat orang tua mengurangi “jatah” biaya belanja makanan bergizi, biaya kesehatan, pendidikan dan seterusnya.
Tim Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) telah melaksanakan studi yang membuktikan efek konsumsi rokok terhadap kemiskinan dan kejadian stunting di Indonesia.
Dalam penelitian ini diperlihatkan, konsumsi rokok sekitar 3,6% pada 1997 telah melonjak 5,6% pada 2014, sedangkan konsumsi lainnya menurun secara signifikan selama 1997-2014.
Artinya, peningkatan konsumsi rokok sekitar dua persen telah digantikan oleh penurunan pengeluaran beras, protein, dan sumber lemak, serta pendidikan.
Teguh Dartanto, PhD, Kepala Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI sekaligus penanggung jawab penelitian tim riset PKJS menjelaskan lebih detil, “Kami mengamati berat badan dan tinggi anak-anak (<= 5 tahun) pada 2007 dan kemudian melacak mereka pada 2014 secara berurutan untuk mengamati dampak perilaku merokok orang tua dan konsumsi rokok pada stunting
Secara mengejutkan, ditemukan anak-anak yang tinggal di rumah tangga dengan orang tua perokok kronis serta dengan perokok transien cenderung memiliki pertumbuhan lebih lambat dalam berat dan tinggi dibandingkan mereka yang tinggal di rumah tangga tanpa orang tua perokok.”
Teguh menambahkan, penelitian ini menegaskan bahwa anak-anak yang tinggal dengan orang tua yang tidak merokok akan tumbuh 1,5 kg lebih berat dan 0.34 cm lebih tinggi daripada mereka yang tinggal dengan orang tua perokok kronis.
Ini menunjukkan bahwa perokok aktif/kronis cenderung memiliki probabilitas anak-anak pendek atau kerdil.
Dengan memperhitungkan faktor genetik dan lingkungan dari anak, penelitian ini menegaskan adanya bukti kuat dan konsisten secara statistik bahwa anak yang memilikiorang tua perokok kronis memiliki probabilita mengalami stunting 5.5% lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari orang tua bukan perokok.
Selain itu, kondisi stunting ini akan menyebabkanpenurunan kecerdasan/kognitif anak. Temuan menarik lainnya adalah peningkatan pengeluaran rokok sebesar 1% (butir persen/percentage point) akan meningkatkan probabilitas rumah tangga menjadi miskin naik sebesar 6%. [Ln]