Chanelmuslim – Chanelmuslim bertemu dengan Sarnadi Adam, pelukis Betawi yang mendunia. Berpakaian batik ia menyambut dan mengobrol dengan ramah di Aston Marina, Selasa (15/17).
Sarnada Adam atau biasan dipanggil Bang Nadi sudah mmempunyai bakat melukis sejak kecil. Ia mengaku tanah sehabis hujan sering ia gambar dengan ranting kayu.
“Sejak kecil saya hobi menggambar. Saat itu sekitat tahun 60-an di Semprug, Jakarta Selatan. Waktu itu masih ada tanah. Kalau becek habis hujan saya sering menggambar di sana dengan ranting kayu,” ujarnya.
Dari kesenangan menggambar di atas tanah yang becek kemampuan melukis Sarnadi membuahkan hasil. Ia sering memenangkan lomba menggambar dan melukis pada waktu SMP.
“Ketika saya SMP saya selalu juara kelas, lomba menggambar, dan melukis,” tutur Sarnadi.
Dosen tetap di Universitas Negeri Jakarta ini mengaku asli anak Betawi. Dari kakek hingga orang tuanya merupakan orang Jakarta asli.
“Saya asli Jakarta, ibu bapak, nenek juga. Tadinya tinggal dekat Gelora Bung Karno, kemudina di gusur tuh stadion. Kemudian pindah ke Semprug, lalu pindah lagi ke Rawa Semprug hingga sekarang.”
Seringnya Sarnadi Adam memenangkan lomba menggambar. Salah satu gurunya menyarankan dirinya untuk sekolah seni rupa di Jogja.
“Saya tidak SMA, Karena saya selalu juara menggambar. Kebetulan guru al jabar di SMP orang Jogja. Ia menyarankan untuk sekolah seni rupa di Jogja. Pada waktu itu hanya ada sekolah seni rupa di Indonesia, yaitu di Jogja, Padang, dan Bali. Pilihan saya di Jogjakarta karena lebih dekat, lalu saya sekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa Indonesia” ungkap pria yang pernah meraih Satya Lancana Karya Satya X Tahun 2000 dari presiden RI.
Waktu memilih kota Jogja sebagai tempat ia belajar. Sarnadi sempat berkonsultasi dengan kedua orangtuanya mengenai pilihannya untuk melanjutkan ke sekolah seni rupa.
“Saat itu saya bertanya kepada Enyak babe untuk melanjutkan sekolah di Jogja. Mereka menjawab, silahkan saja kalau kamu suka. Jadi .enggak ada masalah mengambil jurusan apa saja, yang penting sekolah,” tutur Sarnadi.
Di kota pelajar Jogjakarta bakat Sarnadi Adam semakin terasah. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Institut Seni Indonesia.
“Di sana kemampuan saya berkembang. Mulai melakukan pameran-pameran di Jogjakarta dan sekitarnya. Selesai di Institute Seni Indonesia, saya kembali ke Jakarta tahun 1985 dan menjadi dosen seni rupa di IKIP Jakarta. Kemudian tahun 1986 saya jadi dosen tetap,” tutur pria berkacamata ini.
Sarnadi mengaku awal mula melukis mengenai Betawi saat kembali ke Jakarta pada tahun 1985. Ia melihat pelukis pelukis urban Jakarta tidak melukis tentang Betawi.
“Saat kembali ke Jakarta pada tahun 1985, saya lihat pelukis pelukis urban di Jakarta tetapi mereka tidak melukis tentang Betawi. Jadi sebagai putera daerah, putera Betawi, saya tertantang untuk melukis situasi, kondisi masyarakat, dan Kehidupan sosial budaya masyarakat Betawi,” ungkap pria yang lahir di bulan Agustus ini.
Menurutnya kehidupan sosial yang ia lukis begit indah dan artistik. Hal itu bisa dilihat berbagai aktivitas masyarakat betawi, tradisi, dan keseniannya.
“Ternyata, kehidupan sosial masyarakat betawi dan alamnya ternyata begitu indah dan artistik. Kita lihat dari rumah rumah tradisi, kesenian kesenian betawi yang hidup, penari, seni pertunjukkan itu menjadi objek lukisan saya. Jadi orang pergi mengaji, pergi kondangan, ada penganten sunat, ada penganten betawi, macam macam kehidupan sehari hari menjadi objek lukisan saya,” tutur Sarnadi.
Dari keunikan lukisannya ia diundang ke berbagai negara untuk melakukan pameran lukisan.
“Ternyata lukisan betawi itu unik dari segi warna, dari segi bentuk, dan tidak sama dengan daerah lain, bahkan dunia, karena keunikan itu saya sering diundang pameran ke belahan dunia, seperti Eropa, China, Amerika,” tutur pria yang pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta.
Sarnadi mengaku melukis ukuran 1×1 meter membutuhkan waktu satu minggu untuk satu lukisan. Namun, menurutnya perhitungan satu minggu untuk satu lukisan tidak bisa dihitung secara pasti, karena sebagai manusia juga harus berinteraksi dan berekreasi.
“Pada prinsipnya setiap saat saya melukis, setiap harilah, entah itu satu dua jam, kadang kadang bisa sampai delapan jam sehari. Kalau lagi enjoy bisa delapan jam sehari. Ya dinikmati aja, gak memaksakan diri,” ungkapnya.
Dalam melukis menurutnya tidak mengenal namanya lupa. Lukisan yang belum selesai dilukis, seorang pelukis masih ingat apa yang akan dilukis setelahnya.
“Seperti makan saja. Apa yang kita makan hampir sama. Kita sebagai pelukis selalu ingat apa yang kita gambar. Kehidupan pelukis seperti itu kalau belum selesai itu ingat terus. Walaupun saya pergi ke mana selalu ingat ada karya yang belum selesai,” ungkapnya.
Lanjutnya, selama empat puluh lima tahun ia telah melukis hingga dua ribu karya.
“Itu setahun kan bisa jadi empat puluh delapan. Saya sudah empat puluh lima tahun melukis, kira kira berapa ya. Silahkan kalikan sendiri,” tutur pria berkacamata ini.
Baca Juga: Ulama Betawi, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i Berpulang ke Rahmatullah
Kisah Pelukis Betawi Mendunia Dari Lahir Hingga Harapan di Hari Kemerdekaan
Menjadi pelukis, Sarnadi mengaku didukung oleh keluarga. Khususnya istrinya.
“Keluarga dukung. Jadi, sebelum saya menikah dia tahu profesi saya melukis. Istri saya itu orang Jogja. Sekarang jadi guru bahasa jerman,” ungkap Sarnadi.
Dengan pengalamannya sebagai pelukis, ia berpesan kepada mereka yang ingin menjadi seperti dirinya untuk tetap berkarya apapun hasilnya.
“Saya pesan kepada mereka perupa perupa atau pelukis muda di dunia universitas seni rupa, atau yang sudah lulus sebagai perupa atau pelukis.
Saya berharap apa yang dicita citanya, apa yang dipelajari selama ini terus dipraktekkan dalam bentuk karya secara kontinu sehingga apa yang diharapkannya tercapai sebagai perupa atau pelukis profesional yang betul betul hidup dari hasil karyanya,” pesan pria yang pernah meraih penghargaan sebagai Pelukis terbaik DKI Jakarta pada tahun 2000.
Di bulan agustus hari kemerdekaan, pria yang pernah meraih penghargaan The Exlusive Figur in Asia 2003 dari Wakil Presiden RI itu berharap, masyarakat Indonesia yang berprofesi apapun untuk mengembangkan profesinya secara profesional
“Saya merasa senang hidup di alam kemerdekaan. Betapa pejuang pejuang dulu dengan mata, air mata, dan darah, bahkan nyawa memperjuangkan untuk kemerdekaan ini. Jadi saya harapkan semua warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai apapun terus mengembangkan profesinya secara profesional di bidang masing masing sehingga bisa bersaing dengan bangsa bangsa lain di dunia, utamanya bidang seni lukis,” harap Sarnadi.
Ia melanjutkan, sebagai bangsa yang merdeka dan berkreasi tiap orang bebas memamerkan karyanya baik di ajang lokal hingga internasional agar bisa sejajar dengan bangsa lain.
“Dengan begitu kita merasa adalah bagian dari perupa atau pelukis dunia yang terus mewarnai karya karya kita terhadap dunia,” tutup Sarnadi. (Ilham)