PRANK bisa disebut sebagai candaan. Tapi, tidak semua prank hanya sekadar candaan biasa. Ada juga yang berdampak negatif.
Istilah prank mungkin dikenal masyarakat kita pada tahun 90-an. Sejumlah media televisi saat itu mengenalkan model candaan prank sebagai tayangan hiburan.
Bentuknya macam-macam. Tapi polanya hampir sama. Yaitu, ‘mengerjai’ atau membuat kelucuan dari korban yang bereaksi bingung, takut, malu, dan tak berdaya.
Dan ternyata, sambutan publik begitu antusias. Tayangan lucu-lucuan ini begitu diminati.
Kini, olahan konten yang bernuansa prank berkembang di media youtube. Begitu banyak chanel yang berisikan model candaan ini.
Tapi, isinya tetap sama. Yaitu, mencari kelucuan dari reaksi korban prank yang bingung, takut, malu, dan tak berdaya itu.
Prank sebenarnya Sudah Akrab di Semua Masyarakat
Jauh sebelum orang mengenal istilah prank, sebenarnya masyarakat bawah sudah biasa ‘mengamalkan’ candaan dalam bentuk prank.
Contoh, ada seorang bapak yang masuk rumah dengan mengucapkan salam dengan bentuk prank. Misalnya, dengan suara wanita.
Sang ibu pun keluar terburu-buru karena dikiranya ada tamu. Tapi setelah diketahui kalau suara itu milik bapak, sang ibu pun sedikit kesal. Anehnya, sang bapak dan anak-anak yang kebetulan menyaksikan tertawa.
Ada lagi seorang kakak yang memanggil adiknya dengan menunjukkan kepalan tangan seolah berisi uang.
“Dik ini buat kamu. Jangan bilang siapa-siapa,” ucap sang kakak.
Sang adik pun begitu antusias. Tapi setelah kepalan terbuka, ternyata hanya candaan alias tidak ada uangnya.
Sang kakak atau orang yang kebetulan ada di sekitarnya tertawa, sementara sang adik manyun atau kesal.
Masih banyak variasi candaan yang akrab di masyarakat dengan nuansa prank. Tapi, porsi candaannya jauh lebih besar daripada ingin ‘mengerjainya’. Meski kesal, korban pun biasanya ikut tertawa.
Prank Dilihat dari Sisi Akhlak Islam
Dari sisi teknis, prank memang berbeda dengan guyonan atau candaan umumnya. Candaan pada umumnya membuat semua orang tertawa atau terhibur, tanpa kecuali.
Sementara, prank menjadikan semua orang tertawa dan terhibur, kecuali si korban. Semakin korban kesal, bingung, malu, atau takut; semakin tertawaan dan hiburan menjadi-jadi.
Di sinilah perbedaan utamanya. Dalam candaan, semuanya terhibur. Tapi dalam prank, ada yang terhibur, tapi ada yang dikorbankan.
Tentang yang dikorbankan inilah boleh jadi memiliki komplikasi dari sisi akhlak Islam. Bolehkah? Atau, patutkah?
Belum lagi dari sisi dampak psikologis si korban. Bayangkan jika yang menjadi korban adalah anak-anak. Tentu akan ada dampak dari sisi pengalaman mentalnya. Walaupun sekali lagi, hanya sekadar candaan.
Jadi, sepertinya kita harus belajar lagi tentang candaan jenis prank ini. Apakah memang hanya bernilai hiburan saja. Atau, ada dampaknya dari sisi lain, misalnya akhlak Islam tadi. [Mh]