ADAPTASI suami istri menjadi hal lumrah. Begitulah memang mestinya suami istri di awal-awal perjalanan rumah tangga baru. Setidaknya, kisah karangan tentang Mamat dan Tuti berikut ini menjadi contoh.
Mamat dan Tuti baru beberapa hari menikah. Mamat putra asli Betawi. Sementara, Tuti putri asli Solo. Keduanya dipertemukan jodoh oleh Allah yang di luar perkiraan mereka.
Mamat yang Betawi beradaptasi di lingkungan barunya di Solo. Ia tidak boleh asal ngomong seperti umumnya orang Betawi. Setidaknya, hal itulah yang ia lakukan selama tinggal di rumah mertuanya.
Begitu pun dengan Tuti. Ia yang tumbuh besar di Solo sama sekali belum pernah menyelami budaya Betawi. Termasuk ketika di saat beberapa hari lagi keduanya akan tinggal sementara di keluarga Mamat di Jakarta.
“Dik, kalau orang Betawi itu nyebut kamu ‘lu’,” ucap Mamat mengajarkan kata-kata sederhana ke istrinya.
“Nah, kalau nyebut aku, ‘aye’,” jelas Mamat lagi. Tuti begitu menyimak. Ia hafalkan kata-kata itu.
Masih banyak kata lain yang diajarkan Mamat ke istrinya. Tapi, yang paling berkesan buat Tuti adalah ‘aye’ dan ‘lu’ itu. Mungkin dua kata itu yang paling sering digunakan.
Di Rumah Mamat di Jakarta
Setelah sepekan tinggal di Solo, Mamat dan Tuti ‘hijrah’ sementara ke Jakarta. Mereka tinggal di rumah orang tua Mamat. Begitulah tradisi Betawi agar menantu dan mertua bisa saling beradaptasi.
Awalnya, Tuti agak risih berada di lingkungan keluarga besar Mamat. Mereka terasa bagi Tuti menjadi agak ‘sok akrab’.
Bayangkan, tanpa ketuk pintu, kadang mereka sudah ada di depan kamar.
“Assalamu’alaikum! Eh ada orangnye!” begitu kira-kira yang didengar Tuti ketika ia terkejut tiba-tiba sudah ada orang yang berdiri di depan pintu kamarnya. Dan terpaksa, ia pun tersenyum.
Masih banyak hal lain yang agak risih buat Tuti, tapi begitu biasa untuk sesama keluarga besar Mamat. Seperti, mereka makan dan minum tanpa dipersilakan, duduk sekehendaknya, dan kadang ‘buang angin’ begitu mudah tanpa kendali.
Semua itu akhirnya menyadarkan Tuti tentang keragaman budaya yang memang harus ia pahami. Bukan untuk dijauhi.
Tuti Masak Kue
Siang itu, Tuti sedang asyik memasak kue. Ia sendirian di dapur mertuanya. Ia ingin unjuk kebolehan ke keluarga besar mertuanya kalau olahan kuenya patut untuk dibanggakan.
Tiba-tiba, “Tut, lu lagi ngapain?” Suara ibu mertuanya tiba-tiba muncul di area dapur.
“Eh, Enyak. Anu Nyak, lagi masak kue,” jawab Tuti begitu sopan.
“Kue? Kue apaan, Tut?” ucap ibu mertuanya lagi sambil berjalan perlahan mendekati Tuti.
“Kue…, kue…, kue… anu, Nyak,” ucap Tuti agak terbata-bata. Ia seperti menahan ucapannya karena khawatir tidak sopan.
“Kue apaan?” ucap ibu mertuanya lagi.
“Kue bol…bol…bol..,” jawab Tuti sambil tetap menata tatakramanya.
“Kue apaan?” ucap ibu mertua Tuti sambil ‘melongok’ ke arah masakan Tuti.
“Oh, kue bol-lu,” ucap ibu mertuanya.
“Iya, Nyak. Kue bol-aye,” sahut Tuti ragu-ragu. Ia khawatir kalau ia sebut nama kue apa adanya, rasanya tidak sopan.
“Bol-aye? Bol-lu!” ucap ibu mertuanya lagi.
“Iya, Nyak. Bol-aye!” ucap Tuti sambil menahan malu. [Mh]