AKU tidak setuju jika kita berdusta untuk membuat anak berhenti menangis. Sebaiknya, katakan saja secara terus terang.
Tak selalu Ben harus ikut, justru dengan Ben, bungsuku berusia 4,5 tahun tidak ikut terdapat tanggung jawab yang mulai dimengerti olehnya.
“Ummi mau ke mana?” Begitu selalu pertanyaannya kalau melihat aku keluar kamar dengan jilbab rapi.
Ketika menginjak usia 2 tahun, Ben selalu menangis kalau berpisah. Sudah naluri.
Biasanya drama berlangsung di tangga antara pintu rumah ke halaman parkir tapi ketika itu, aku pantang mendustainya.
Paham tak pahamnya Ben kecilku, aku mengatakan, “Ummi mau jihad. Ummi mau bekerja di jalan Allah.“
Tentu saja Ben tidak paham. Aku juga melarang suster dan mbak untuk mengatakan yang tidak sebenarnya.
Misalnya, berkata Ummi cuma pergi sebentar dan mengajaknya ikut supaya memakai sepatu tapi ternyata dibawa ke tempat lain.
Sekarang ini, ketika Ben bertanya lagi sambil duduk di atas koper berisi pakaian dan sejumlah makanan titipan Bang Zack, abangnya Ben berusia 15 tahun yang belajar di Istanbul.
“Ummi mau pergi jauh? Ke tempat Bang Zacky? Ben ikut. Ben ikut ya,” tatapannya memelas.
Ibu mana yang tega menolak. Bahkan jika bisa ke mana pun pergi maunya si kecil selalu dibawa.
Namun, Ben harus sekolah. Ben harus belajar. Lagipula Ben sedang tidak libur.
Baca Juga: Aku Menangis Membaca Anak Dipukuli Ibunya sampai Meninggal
Jangan Berdusta untuk Membuat Anak Berhenti Menangis
Jawabnya tentu saja mudah ditebak, “Ben enggak mau sekolah, maunya sama Ummi saja.”
Bahkan Ben ngotot ingin ikut ke bandara dengan alasan, “Ben mau beli roti Boy.“
Namun, tetap aku larang juga karena jauh. Bandara ke rumah sekitar 2 jam. Jadi pulang-pergi sekitar 4 jam.
Sementara besok pagi Ben harus kembali ke Bogor untuk melanjutkan sekolah menghafal Alqurannya.
Intinya, anak tidak ikut kita pergi berarti anak diajarkan untuk tanggung jawab terhadap job desk utamanya, yaitu sekolah.
Dan, bila kita pergi lalu anak menangis, aku tidak setuju jika kita berdusta untuk membuatnya berhenti menangis. Sebaiknya katakan saja secara terus terang.
“Tidak sayang, kamu harus sekolah. Nanti kalau Ummi pulang, kita Insha Allah boleh main ke Cimall playground.”
Merengek? Pasti. Lama-lama jadi paham dan mudah saja.
“Sudah ya, Nak. Ummi pergi dulu. Kiss Ummi 7 kali.“
Ketika asik peluk cium itulah rupanya Ben memasukkan mobil kecil mainannya ke dalam tas tanganku. Aku baru menyadarinya ketika di pesawat mau cari ballpoint. Akhirnya, gantian aku yang menangis ingat bungsuku.
Ini namanya senjata makan Mamanya Ben.
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya.
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
(Catatan Mam Fifi, Februari 2018)
By. Fifi P. Jubilea, S.E., S.Pd., M.Sc., Ph.D.
(Founder Jakarta Islamic School, JIBBS, JIGSc)
Website:
https://chanelmuslim.com/jendelahati
https://www.jakartaislamicschool.com/category/principal-article/
Facebook Fanpage:
https://www.facebook.com/jisc.jibbs.10
https://www.facebook.com/Jakarta.Islamic.Boys.Boarding.School
Instagram:
www.instagram.com/fifi.jubilea
Twitter:
https://twitter.com/JIScnJIBBs
TikTok: