ISTRIKU workaholic karena diriku. Aku tak pernah menyelami perasaannya, keinginannya dan entah sudah banyak perasaan tersakiti oleh diri yang angkuh ini.
Keluarga merupakan muara utama kebahagiaan setiap insan, terutama bagi suami yang sudah lelah mencari rezeki untuk menafkahi keluarganya.
Selepas lelah beraktivitas, keluarga pengobat lelah dan tentunya kesiapan keluarga istri dan anak menyambut dengan penuh bahagia. Maka sempurnalah kebahagiaan sebuah rumah tangga.
Tapi tidak bisa dipungkiri, kadang bagi diriku pribadi, keinginan itu hanya sekadar keinginan yang jarang terwujud.
Meski istriku hanya seorang penulis lepas dan editor di salah satu penerbit tapi sungguh dirinya sangat workaholic. Apalagi kami belum dikaruniai anak, penyakit satu ini makin menjadi, entah apa motivasinya.
Katanya buat menghabiskan waktu saja, tapi ternyata benar waktunya hanya habis untuk itu.
Penyakit yang terjadi jika dirinya dikejar dateline, hari-harinya lebih banyak dihabiskan bekerja dibandingkan menemaniku, suaminya.
Istriku workaholic, seorang mantan reporter, editor dan manajer marketing komunikasi ini, memang sangat tidak bisa melepaskan aktivitas lamanya.
Selalu saja, ada yang dikerjakan. Tak pernah ada waktu senggang yang kadang membuatku sebagai suami kecewa dan sedih.
Tetapi, tahukah ternyata penyebab istri tercintaku workaholic (gila kerja) ternyata kesalahanku sebagai suaminya.
Suami yang terlalu cuek menyapanya, menghiburnya, mengajak dia rihlah dan segala yang berhubungan dengan kasih sayang dan perhatian.
Baca Juga: Tiga Tipe Suami yang Merepotkan Istri
Istriku Workaholic karena Diriku
Aku memang akui, aku mempunyai pribadi cuek dan tidak terlalu senang berbicara tetapi akhirnya segala tabiat ini menamparku secara pribadi.
Tepat, pada saat kejenuhan bekerja selama hampir 3 tahun setelah menikah dan belum dikaruniai buah hati. Aku merasakan, keluargaku hampa tanpa kata-kata dan semua itu akibat ulahku sendiri.
Dulu, pada saat istriku begitu semangat menyambutku ketika pulang kerja, dengan dandanan yang sangat cantik serta bau wangi semerbak, tak ada sedikit pun respon dari diri ini.
Bahkan pada saat dia menginginkan jalan-jalan dan makan keluar atau sekadar keliling ke mana saja, dengan datar, aku hanya menampakkan wajah memelas memperlihatkan kelelahan.
Pada saat dirinya berjalan menggenggam tanganku ketika hendak ke majelis ilmu, aku melepas begitu saja dan berjalan buru-buru. Tanpa sadar, istriku lelah mengejar.
Saat dirinya bersemangat menyajikan makanan yang tertata rapi dan rumah bersih serta wangi, aku tak pernah memujinya atau sekadar tersenyum dan berterima kasih.
Ya, istriku workaholic semuanya karena aku sendiri. Aku tak pernah menyelami perasaannya, keinginannya dan entah sudah banyak perasaan tersakiti oleh diri yang angkuh ini.
Aku, yang menjadikannya workaholic. Aku yang membuat dirinya cuek pada segalanya. Seberapapun dirinya melakukan sesuatu yang menarik perhatianku, tak ada sedikit pun respon dariku.
Kini, ketika dirinya mencintai pekerjaan sebagai bentuk pelarian dari kecuekan, ketidakpahamanku sebagai seorang suami.
Aku menyadari betapa dirinya sangat menyayangiku, membuatku bahagia hidup bersamanya.
Kini, pada saat dirinya sudah menikmati perlakuanku yang super cuek, aku baru tersadar, aku yang menjadikan dirinya seperti ini.
Saat dirinya ingin berkhidmat menjadi istri setelah melepas pekerjaannya dan menikah denganku, malah aku mematahkan keinginan itu. Tidak memberikan peluang dirinya bahagia bersamaku.
Sungguh, kadang istri workaholic karena suaminya sendiri yang memberi peluang itu.
Tak masalah, kita memiliki tabiat yang berbeda, tapi rumah tangga itu adalah kehidupan bersama untuk saling membahagiakan bukan hanya sekadar mengubah status menjadi suami istri.
Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wa sallam sudah sangat jelas menegaskan:
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku.”
(HR At-Tirmidzi no 3895 dari hadits Aisyah dan Ibnu Majah no 1977 dari hadits Ibnu Abbas dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 285))
Beliau shallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Orang yang imannya paling sempurna di antara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”.
(HR At-Tirmidzi no 1162 dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Majah no 1987 dari hadits Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 284))
Subhanallah, jika kepada istrinya saja tidak bisa berlaku baik, bagaimana kepada orang lain. Padahal istrilah yang membuat suami mudah beraktivitas, menyucikan baju, memasak, menyetrika bahkan ada yang harus menjaga anaknya tapi kadang kita lupa hal kecil akibat keangkuhan kita yang telah merasa berbangga memberikan mereka harta.
Si workaholic telah mengajarkan aku makna kebahagiaan itu tidak sekadar menikah, menafkahi tetapi lebih dari itu dan sangat sederhana. Perhatian dan kasih sayang.
Jangan terlambat sebelum menyesal, siapa tahu kitalah para suami yang membuat istri kita terjerumus ke dalam maksiat. Waallahu a’lam. [ind/ummumubarok]