Chanelmuslim.com– Khitbah (Melamar/Meminang) dan Pernak-Perniknya (5)(Bag. 5)
Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan khitbah (meminang atau melamar) dalam Islam? Ikuti penjelasan dari Ustadz Farid Nu’man berikut.
Nazhar Itu Hanya untuk yang Serius Ingin Menikahinya
Hal ini perlu diperhatikan dan ditegaskan, khususnya untuk kaum laki-laki, agar tidak ada kesan mempermainkan wanita. Walau menolak dan melanjutkan proses adalah haknya, tetapi hendaknya memperhatikan perasaan wanita. Betapa banyak laki-laki yang sudah nazhar terhadap beberapa wanita, tapi tidak ada satu pun yang membuatnya tertarik, karena mungkin memasang standar rupa yang tinggi, lupa dengan wasiat Nabi saw: fazhfar bidzaatid diin taribat yadaaka – pilihlah karena agama, niscaya kau akan beruntung. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Baca Juga: Khitbah dan Pernak-Perniknya (4)
Khitbah dan Pernak-Perniknya (5)
Bahkan para ulama dengan tegas menjadikan “keinginan serius” ini sebagai syarat kebolehan melihat wanita tersebut, bukan melihat untuk semata-mata menikmati kecantikannya, apalagi ajang seleksi.
Mereka mengatakan:
Mayoritas fuqaha mensyaratkan (baik Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah) untuk disyariatkannya nazhar kepada wanita adalah bagi yang berkehendak memang untuk menikahinya, dan dia berharap adanya penerimaan secara jelas atas lamarannya, atau dikabulkan menikahinya, atau ada dugaan kuat dia akan diterima. Sedangkan Hanafiyah hanya mensyaratkan “kehendak menikahi” saja.” (Raddul Muhtar, 4/237. Mawahib Al Jalil, 3/405. Raudhatuth Thalibin, 7/20, Nihayatul Muhtaj, 6/183. Kasyaaf Al Qina’, 5/10)
Nazhar Tidak Apa-Apa Berkali-Kali
Tidak apa-apa berkali-kali menatap jika kebutuhannya untuk mendapatkan gambaran jelas tentang penampilan calon istrinya.
Berikut penjelasan para ulama:
Bagi pelamar boleh melihat berulang-ulang kepada wanita yang dilamar sampai jelas baginya penampilannya dan dia tidak menyesal menikahinya. Hal itu bleh dilakukan terikat oleh kadar kebutuhannya. (Al Mausu’ah, 19/201)
5) Sunah Menyembunyikan Khitbah
Dalam fiqih Malikiyah, disunnahkan menyembunyikan khitbah, jangan gembar gembor apalagi jika baru ta’aruf. Hikmahnya adalah jika mengalami hal yang terburuk, yaitu gagal, maka keduanya tidak malu karena memang tidak ada yang tahu. Cukup yang tahu adalah keluarga mereka saja, atau orang dekat yang bisa dipercaya.
Dalam Al Mausu’ah tertulis:
Malikiyah berpendapat bahwa disunahkan menyembunyikan khitbah, ini berbeda dengan akad nikah yang justru disunahkan –menurut mereka dan fuqaha lainnya- untuk menyebarkan beritanya, sebab Nabi saw bersabda: “Beritakanlah pernikahan ini.” (Al Mausu’ah, 19/195)
6) Khutbah Sebelum Khitbah
Disunahkan saat melakukan lamaran untuk memulainya dengan sedikit khutbah ajakan untuk taqwa dan menyampaikan niat kedatangan. Ini bisa dilakukan pelamar atau wakilnya.
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
Dianjurkan bagi seorang pelamar atau wakilnya membukanya dengan khutbah sebelum khitbah, sesuai hadits:
“Apa saja yang tidak dimulai padanya dengan pujian kepada Allah maka dia terputus.” Yaitu terputus dari keberkahan.
Maka, memulai dengan pujian kepada Allah (Alhamdulillah) dan sanjungan kepada Allah swt, lalu bershalawat kepada Rasulullah saw, lalu menyampaikan wasiat taqwa, kemudian berkata: “Aku datang kepada kalian untuk melamar anak gadis kalian”, atau jika yang berkata wakilnya: “Dia datang kepada kalian dengan mendelegasikan kepada saya untuk melamar puteri kalian.” Lalu walinya atau wakilnya berkhutbah begitu juga, kemudian berkata: “(Semoga) Aku bukanlah termasuk orang yang kau benci,” atau kalimat semisal ini. (Al Mausu’ah, 19/203)
Hadits “Apa saja yang tidak dimulai padanya dengan pujian kepada Allah maka dia terputus.”, diriwayatkan oleh Abu Daud No. 4840, Ibnu Majah No. 1894, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 10255, Ibnu Hibban No. 1, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 27219, Alauddin Al Muttaqi dalam Kanzul ‘Ummal No. 2510, 6464. Imam An Nawawi mengatakan: hasan. (Riyadhushshalihin, Bab Al Amru bish Shalah). Imam Syamsul Azhim Abadi juga mengatakan hasan. (‘Aunul Ma’bud, 13/130). Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Shahih Ibni Hibban mengatakan: dhaif. (Shahih Ibni Hibban No. 1). Begitu pula Syaikh Al Albani mendhaifkan dalam berbagai kitabnya.
Bersambung …
Farid Nu’man Hasan