ZERO Waste bukan sekadar kampanye lingkungan, ditulis oleh: Dian Sosianti Handayani (Pegiat Lingkungan di NTB).
Sejak digaungkannya program strategis daerah dalam bidang lingkungan dua tahun lalu, yaitu Nusa Tenggara Barat (NTB) Zero Waste, ekspektasi masyarakat cukup tinggi.
Jargon NTB Zero Waste kemudian diartikan bahwa tidak akan ada sampah di seluruh wilayah NTB.
Meski faktanya, hingga masuk tahun ketiga, permasalahan sampah masih menjadi isu hangat untuk diperbincangkan.
Masyarakat pun mulai mempertanyakan sejauh mana pencapaian Program NTB Zero Waste saat ini karena timbulan sampah terkesan makin banyak mengisi sudut-sudut wilayah di NTB ini.
Timbulan sampah liar maupun TPS (Tempat Penampungan Sementara) resmi mengisi sudut-sudut wilayah, mulai meresahkan warga. Terbatasnya jumlah alat angkut yang menyebabkan pelayanan kebersihan kadang tidak selalu tepat waktu dalam pengangkutan.
Inilah paradigma pengelolaan sampah saat ini, yaitu masih menggunakan Sistem Kumpul, Angkut dan Buang ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir).
Sebagian besar mungkin menganggap permasalahan sampah telah selesai ketika dibawa ke TPA. Namun, TPA bisa menjadi bom waktu jika tidak terkelola dengan baik.
Contoh kasus longsor sampah terbesar yang pernah terjadi 15 tahun lalu, tepatnya tanggal 21 Februari 2005.
Sebuah peristiwa longsor sampah terbesar di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Peristiwa ini menimbun dua desa dan menelan lebih dari 150 orang korban jiwa.
Itulah sebabnya, setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Saat ini, hampir semua daerah di NTB mengelola sampah masih menggunakan cara lama yaitu Kumpul, Angkut dan Buang ke TPA.
Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menyebabkan timbulan sampah pun bertambah. Maka cara ini memberi beban berat untuk TPA.
Paradigma pengelolaan sampah dengan cara lama ini harus mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit.
Mengapa?
Pertama, Pengelolaan sampah dengan cara lama membutuhkan sarana prasarana angkutan yang memadai.
Ketersediaan sarana angkutan sampah di desa/kelurahan se-NTB hanya 17% (DLHK, 2020).
Artinya dari 1.146 desa/kelurahan yang ada hanya 201 desa/kelurahan yang memiliki sarana angkutan. Ketika pelayanan kebersihan dari sumbernya tidak didukung oleh sarana yang baik, maka akan muncul permasalahan, seperti sampah yang menumpuk lama di TPS –TPS sekitar pemukiman yang menimbulkan bau dan merusak estetika.
Belum lagi kendala yang dihadapi oleh desa-desa yang letaknya sangat jauh dari TPA, seperti Sembalun, yang jika masih menggunakan paradigma lama, akan sangat tidak efektif mengangkut sampah ke TPA Ijo Balit yang jaraknya hampir 100 km pergi pulang.
Kedua, tidak hanya alat angkut, TPA yang menggunakan sistem landfilling juga membutuhkan alat berat dan lahan yang cukup.
Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah timbulan sampah. Kebutuhan lahan yang luas untuk TPA juga akan bertambah.
Ketiga, pengelolaan sampah di TPA dengan cara landfilling dapat menimbulkan pencemaran yang berkepanjangan jika tidak dikelola dengan profesional.
Sampah yang berakhir di TPA tidak melalui pemilahan. Sampah yang ditumpuk dan diurug di lokasi tertentu akan menimbulkan pencemaran, terutama pencemaran lingkungan.
Untuk mengubah paradigma lama, dibuatlah strategi pengeloaan sampah dengan Kurang, Pilah dan Olah sampah dari sumbernya atau sering dikenal dengan metode 3R (Reduce, Reuse dan Recycle).
Metode 3R merupakan strategi yang berusaha mengubah pola pikir masyarakat tentang sampah. Sesuatu yang kotor, bau dan harus disingkirkan, itulah yang terbersit di kepala ketika melihat sampah.
Faktanya, bekerja untuk mengubah sebuah pemikiran yang menghasilkan habit atau kebiasaan tidaklah mudah, namun bukan tidak mungkin. Negara maju seperti Jepang konon butuh 40 tahun membangun peradaban kedisiplinan warganya bertanggung jawab terhadap sampahnya.
Keseriusan pemerintah pun akhirnya dipertanyakan ketika permasalahan sampah tidak kunjung ada penyelesaiannya.
Yang terjadi bahkan saling melempar kewenangan, terlalu banyak wacana dan kurang aksi hingga alasan klasik yang jitu, yaitu terbatasnya anggaran.
Alasan terakhir ini selalu menjadi peluru yang tepat ketika penanganan sampah menjadi terhambat. Alasan yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia yang belum pro menganggarkan dana untuk keberlanjutan pengelolaan lingkungan terutama masalah persampahan.
Pemerintah Provinsi NTB dipandang cukup berani mengambil isu persampahan dalam program kerjanya.
Selain DKI, Provinsi NTB satu satunya provinsi yang konsen memilih isu persampahan untuk program kerjanya yang dikenal dengan NTB Zero Waste.
Program NTB Zero Waste yang merupakan program yang berbasis gerakan di tengah masyarakat.
Meningkatkan peran serta masyarakat untuk turut aktif mengelola sampah dengan strategi Kurangi, Pilah dan Olah sampah.
Hal ini dimaksudkan untuk menekan volume sampah mulai dari sumbernya, memanfaatkan sampah dengan prinsip sirkular ekonomi serta mengendalikan volume sampah yang dibawa ke TPA sehingga TPA dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lama.
Namun, yang terkesan hingga masuk tahun ketiga diluncurkannya program NTB Zero Waste, program ini hanyalah milik pemerintah provinsi saja.
Permasalahan sampah di daerah seolah tanpa penyelesaian sehingga banyak yang menilai program NTB Zero Waste gagal dan hanya wacana saja.
Mari kita amati perlahan benarkah program ini belum berhasil? Jika melihat waktunya, program ini memang belum selesai tetapi bisa dievaluasi.
Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang kewenangan daerah, di dalamnya dijelaskan bahwa kewenangan pemerintah provinisi dalam mengelola lingkungan adalah yang bersifat regional.
Hal ini juga tertera dalam Peraturan daerah No. 5 tahun 2019 tentang pengelolaan sampah bahwa strategi kebijakan pengelolaan sampah provinsi terdiri dari TPA Regional, TPST (Tempat Pemrosesan Sementara Terpadu) Regional, Bank Sampah Induk Regional, Kawasan Khusus dan Strategis Nasional dan Provinsi, sampah B3, sungai lintas provinsi, pesisir dan kawasan hutan.
Berangkat dari peraturan tersebut, provinisi berkewajiban menyediakan hilirisasi pengeloaan sampah yang bersifat regional.
Seperti yang dilakukan saat ini, pembangunan Pusat Pengelolaan Sampah Terpadu (PPST) di Lemer, Lombok Barat merupakan bantuan dari Kementrian Lingkungan Hidup RI.
Di lokasi ini akan disediakan pengelolaan sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sampah spesifik dari fasilitas kesehatan dan teknologi lainnya.
Pemerintah provinsi juga menjalin kerja sama dengan pihak ketiga seperti PT Indonesia Power untuk pemanfaatan sampah sebagai sumber energi.
Selain itu, pemerintah provinsi juga menyediakan jenis pengolahan sampah organik seperti pengolahan sampah organik dengan bioteknologi Black Soldier Fly (BSF) di Lingsar, Lombok Barat.
Tidak melulu bekerja sama dengan pihak ketiga dari swasta tingkat nasional, pihak ketiga yang bersifat lokal atau kelompok masyarakat juga banyak bergerak dalam upaya pengelolaan sampah.
Pihak-pihak tersebut muncul dari masyarakat bahkan ada yang lahir sebelum lahirnya Program NTB Zero Waste.
Kelompok masyarakat ini memberi sumbangsih yang tidak sedikit dalam membantu mengelola sampah di daerah.
Menggandeng mereka untuk aktif terlibat dalam program zero waste di kelompok masyarakat terkecil sangat memungkinkan.
Yayasan Rumah Energi misalnya, memberi solusi bagaimana mengelola sampah kotoran ternak dan sampah organik menjadi biogas skala rumahan, bisa menghemat pembelian gas.
Yayasan di bawah komando Ummi Ningsih dari Bank Sampah Paman Sam, Lingsar, ini telah banyak membantu masyarakat. Ada Paizul Bayani dari Bank Sampah Kekait Berseri, yang mengelola sampah dari 4 Rukun Tetangga menjadikannya kompos yang layak dijual.
Ada Komunitas Plastik Kembali yang berada di Lombok Tengah yang sedikit memberi sentuhan seni pada sampah plastik dapat menghasilkan karya yang indah. Jika dicantumkan, akan muncul daftar panjang yang mengisi kolom tulisan ini.
Makin banyaknya kelompok masyarakat penggiat persampahan merupakan sebagian kecil dari suksesnya Program NTB Zero Waste.
Karena sejak awal, Program NTB Zero Waste bukan sekadar menitikberatkan pada berkurangnya tumpukan sampah di sudut-sudut wilayah, tetapi lebih kepada makin bertambahnya jumlah masyarakat, baik secara individu maupun kelompok yang pola pikirnya berubah tentang sampah.
Dari hanya sekadar membuang sampah, tetapi menjadi lebih bertanggung jawab terhadap sampah.
Anggaran untuk pengelolaan sampah mungkin membuat jengah, namun ini merupakan tantangan bagi para pemimpin daerah.
Penanganan permasalahan sampah tidak mampu hanya dilakukan oleh pemerintah semata, namun harus ada pelibatan masyarakat di dalamnya. Dengan seperti itu, pembangunan daerah akan seiring sejalan. [ind]
Disclaimer: Tulisan ini sudah dimuat di Lombok Post pada 25 Februari 2021