oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
ChanelMuslim.com–Bertakbir pada hari Idul Fitri adalah dimulai ketika berakhirnya Ramadan pada saat tenggelamnya matahari. Istilah di negeri kita adalah malam takbiran.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al Baqarah (2): 185)
Ayat di atas dijadikan dalil oleh Imam Asy Syafi’i dan yang menyepakatinya, serta ulama sebelumnya, bahwa bertakbir pada hari Idul Fitri adalah dimulai ketika berakhirnya Ramadan pada saat tenggelamnya matahari. Istilah di negeri kita adalah malam takbiran. Pada ayat ini, diperintahkan untuk mulai bertakbir ketika sudah sempurna bilangan puasanya, dan bilangan puasa telah cukup sempurna setelah mereka berbuka pada puasa terakhir Ramadan di malam harinya.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
وقال قوم التكبير من ليلة الفطر إذا رأوا الهلال حتى يغدوا إلى المصلى وحتى يخرج الامام
Segolongan ulama mengatakan bahwa bertakbir dilakukan sejak malam hari raya Idul Fitri jika telah terlihat hilal, sampai pagi hari menuju lapangan dan sampai keluarnya imam ke tempat shalat. ( Fiqhus Sunnah, 1/325)
Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu berkata dalam Al Umm ketika mengomentari ayat di atas:
فَسَمِعْت من أَرْضَى من أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْقُرْآنِ أَنْ يَقُولَ لِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ عِدَّةَ صَوْمِ شَهْرِ رَمَضَانَ وَتُكَبِّرُوا اللَّهُ عِنْدَ إكْمَالِهِ على ما هَدَاكُمْ وَإِكْمَالُهُ مَغِيبُ الشَّمْسِ من آخِرِ يَوْمٍ من أَيَّامِ شَهْرِ رَمَضَانَ
Aku mendengar dari orang-orang yang aku ridhai dari kalangan ulama yang mengerti Al Quran, yang mengatakan “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya” yaitu bilangan puasa di bulan Ramadhan, dan bertakbir ketika sempurna bilangannya “atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu” sempurnanya itu adalah ketika tenggelamnya matahari pada akhir hari di hari-hari bulan Ramadan.
Lalu, Imam Asy Syafi’i melanjutkan:
فإذا رَأَوْا هِلَالَ شَوَّالٍ أَحْبَبْتُ أَنْ يُكَبِّرَ الناس جَمَاعَةً وَفُرَادَى في الْمَسْجِدِ وَالْأَسْوَاقِ وَالطُّرُقِ وَالْمَنَازِلِ وَمُسَافِرِينَ وَمُقِيمِينَ في كل حَالٍ وَأَيْنَ كَانُوا وَأَنْ يُظْهِرُوا التَّكْبِيرَ وَلَا يَزَالُونَ يُكَبِّرُونَ حتى يَغْدُوَا إلَى الْمُصَلَّى وَبَعْدَ الْغُدُوِّ حتى يَخْرُجَ الْإِمَامُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ يَدَعُوا التَّكْبِيرَ
Maka, jika sudah terlihat hilal bulan Syawal aku suka bila manusia bertakbir baik secara berjamaah atau sendiri di masjid, pasar, jalan-jalan, rumah-rumah, para musafir, dan para mukimin pada setiap keadaan, di mana saja mereka berada hendaknya menampakkan takbirnya, dan terus menerus takbir sampai datangnya pagi hingga menunju lapangan dan setelah itu sampai imam keluar untuk shalat, kemudian mereka sudahi takbir itu. (Al Umm, 1/231. Darul Ma’rifah)
Jadi, bertakbir bukan hanya di masjid tapi juga di rumah, di jalan-jalan, pasar, dan lainnya. Laa haula walaa quwwata illa billah.
Wallahul Musta’an.
[ind/alfahmu]