MIMPI basah saat puasa Ramadan di siang hari, bagaimana hukumnya? Ustaz Abdullah Haidir, Lc. menjelaskan mengenai hal ini yaitu sebagai berikut.
Mimpi junub (mimpi berjimak) walau keluar mani disepakati para ulama sebagai perkara yang tidak membatalkan puasa.
Karena hal tersebut di luar kekuasaan seseorang. Sebab terjadi tanpa sengaja dan tanpa dia sadari. Hal ini termasuk dalam bab firman Allah taala:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (سورة البقرة: 286)
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqarah: 286)
Baca Juga: Perbedaan Air Mani dan Madzi
Mimpi Basah Tidak Membatalkan Puasa
Imam Nawawi berkata dalam kitabnya Al Majmu Syarhul Muhazab yang menjadi rujukan dalam fiqih mazhab Syafii:
إذَا احْتَلَمَ فَلَا يُفْطِرُ بِالإِجْمَاعِ ; لأَنَّهُ مَغْلُوبٌ كَمَنْ طَارَتْ ذُبَابَةٌ فَوَقَعَتْ فِي جَوْفِهِ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ
“Jika dia bermimpi jimak maka tidaklah membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.
Karena dia tidak berdaya (mencegahnya), seperti halnya seekor lalat yang terbang lalu masuk ke lambungnya tanpa dia sengaja”
(Al-Majmu Syarhul Muhazab, Imam Nawawi, 6/322, berdasarkan penomoran Maktabah Syamilah)
Lain perkaranya jika junubnya terjadi karena faktor kesengajaan yang dia lakukan sendiri dengan sadar, seperti onani atau bercumbu, jika sampai keluar mani maka orang tersebut dinyatakan batal puasanya.
Perbedaan Air Mani dan Madzi
Adapun mani, keluarnya saat puncak syahwat. Hal ini ditandai oleh rasa nikmat dan menyenangkan saat keluarnya, keluarnya memancar, lalu lemas setelah itu, dan darinyalah anak berasal.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:
هُوَ الْمَاءُ الْغَلِيظُ الدَّافِقُ الَّذِي يَخْرُجُ عِنْدَ اشْتِدَادِ الشَّهْوَةِ
Itu adalah air kental yang hangat yang keluar ketika begitu kuatnya syahwat. (Al Mughni, 1/197)
Perbedaan antara madzi dan mani adalah, bahwa mani keluar dibarengi dengan syahwat dan keadaan lemas setelah keluarnya,
ada pun madzi bisa keluar dengan syahwat dan tanpa syahwat, dan tidak membuat lemas setelah keluarnya. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 2/141)
Para ulama tidak sepakat atas kenajisannya. Sebagian mengatakan suci seperti Syafi’iyah, Hambaliyah, Imam asy Syaukani, Syaikh Yusuf al Qaradhawi, dan lainnya.
Ada pula yang mengatakan najis seperti Abu Hurairah, Hasan al Bashri, Hanafiyah, dan Malikiyah. Wallahu a’lam.[ind]