BERKURBAN tidak hanya ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun juga sebagai ibadah yang mampu memperkuat pondasi kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kewajiban berkurban bagi mereka yang mampu melaksanakannya akan memberi kebahagiaan bagi mereka yang menerimanya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan (rizki) dan tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah no. 3123. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Baca Juga: Baitul Wakaf Konsepkan Berkurban Sambil Berwakaf
Kewajiban Berkurban Bagi yang Mampu Melaksanakannya
Berkaitan dengan hadis di atas Ustaz Faisal Kunhi M.A memberikan beberapa penjelasan:
1. Orang yang rajin pergi ke masjid seharusnya ia menjadi pribadi yang dermawan, karena hubungan dengan Allah dengan cara pergi ke masjid dan hubungan dengan manusia dengan cara berkurban tidak bisa dipisahkan.
2. Seakan Nabi berkata, percuma shalatmu jika engkau pelit padahal engkau memiliki kelebihan, karenanya perintah shalat sering beriringan dengan perintah zakat.
Allah berfirman:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”
(QS. Al Baqoroh: 43)
Kata zakat dalam bentuk definitif disebut 30 kali di dalam Al Qur’an, diantaranya 27 kali disebutkan dalam satu ayat bersama shalat dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat tetapi tidak di dalam satu ayat. Di sini menjadi bukti bahwa hubungan dengan Allah dan manusia harus dibangun dalam bingkai tawazun (keseimbangan).
3. Adapun hukum berkurban menurut Abu Hanifah adalah wajib berdasarkan hadis yang disebutkan di atas dan surah Al Kautsar ayat 2, karena semua perintah di dalam Al Qur’an sifatnya wajib.
4. Sedangkan menurut fuqoha lainnya hukum berkurban adalah sunnah muakkadah, hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Salamah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah (maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim).
Karena dalam hadis ini hanya disebut, “Jika kamu ingin berkurban”, maka para ahli fiqh menyebut hukumnya adalah sunnah muakkadah.
5. Menurut ulama Syafi’iyah, hukum berkurban adalah sunnah kifayah, artinya jika salah seorang anggota keluarga yang berkurban maka yang lain mendapatkan pahalanya, hal ini berdasarkan hadis dari Mihnaf bin Sulaim berkata:
“Kami berdiri bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Arafah, dan saya mendengar beliau bersabda,
7.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة
Wahai manusia, dianjurkan atas setiap penduduk rumah setiap tahunnya kurban (Dinyatakan hasan oleh Albani di Shahih Abi Dawud). [Ln]