HUKUM muslimah mengantar jenazah ke kubur. Para ulama berbeda pendapat tentang perempuan, selain istri almarhum, mengantar jenazah ke kubur.
Mayoritas ulama dari generasi sahabat, tabi’in, hingga para ahli fikih mazhab mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Ada yang membidahkannya.
Baca Juga: Cara agar Terhindar dari Siksa Kubur
Hukum Muslimah Mengantar Jenazah ke Kubur
Namun, ada pula ulama yang membolehkannya (mubah). Pendapat yang kuat (rajih) adalah hukumnya itu makruh sehingga lebih baik perempuan tidak mengantar jenazah ke kubur.
Menurut mayoritas ulama, istri yang ditinggal wafat terlarang untuk mengantar jenazah suaminya ke kubur berdasarkan ijmak ulama.
Alasannya karena dia telah memasuki masa idah dan ihdad (berkabung) sehingga terlarang untuk keluar rumah, kecuali karena ada urusan mendesak yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
Namun menurut ulama Malikiah, dia dibolehkan untuk mengantarnya ke kuburan dengan syarat aman dari terjadinya hal-hal yang mungkar seperti meratapi mayat (niyahah).
Baca Juga: Hukum Ziarah Kubur Saat Lebaran
Idah dan Ihdad (Berkabung)
Idah adalah masa tunggu (belum boleh menikah) perempuan yang diceraikan (talak) atau ditinggal wafat oleh suaminya.
Masa idah perempuan yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari jika tidak dalam keadaan hamil atau sampai melahirkan jika dalam keadaan hamil.
Selama masa idahnya, dia diperintahkan untuk berdiam di rumah yang ditinggali bersama suaminya, kecuali karena ada hal-hal tertentu yang mengharuskan keluar dari rumahnya.
Misalnya, ada keperluan yang mendesak dan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, seperti berobat ke dokter dan menjalankan tugas tertentu bagi perempuan yang bekerja.
Diperbolehkan pula keluar rumah untuk hal-hal yang dianggap wajar secara adat (urf)seperti mengobrol dengan tetangga dan berkunjung ke rumah kerabatnya, dengan syarat tidak menginap di rumah
mereka.
Kebolehan ini disepakati oleh para ulama mazhab yang empat, yaitu Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah, dan Hanabilah.
Pada masa idah itu, dia tidak boleh dipinang (dikhitbah) dengan cara yang tegas (sharih), kecuali dengan bahasa sindiran.
Maka, seorang laki-laki tidak boleh mengatakan kepadanya, “Saya mau melamarmu.” Laki-laki hanya boleh mengatakan, misalnya: “Perempuan sepertimu tidak pantas hidup sendiri” atau “Saya ingin nikah, apakah ada perempuan yang mau?”
Pada masa idahnya, dia tidak boleh dinikahi berdasarkan ijmak ulama. Pada masa idahnya pula, dia harus berkabung (ihdad), yaitu tidak berhias diri atau yang semakna dengannya seperti memakai parfum.
Jika boleh keluar rumah jika ada keperluan yang mendesak, tetapi dilarang untuk bermalam di selain
rumahnya.
Di antara bentuk berkabung adalah tidak mengenakan pakaian yang secara adat (urf) bertentangan sikap orang yang bersedih. Tidak ada warna tertentu yang ditentukan oleh syarak, tetapi dikembalikan pada adat.[ind]