ChanelMuslim.com – Hukum berutang dan arisan untuk qurban. Bolehkah berutang untuk berqurban? Bagaimana dengan arisan qurban?
Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah
Kami akan jawab menjadi dua bagian sesuai pertanyaannya.
Baca Juga: Berqurban, Berkah bagi Saudara ‘Jalan bagi Kita ke Surga’
Pertama: Berqurban dengan Biaya dari Utang
Tidak ada larangan dalam nash, tentang melakukan amal shalih yang sifatnya maaliyah (harta) seperti qurban, aqiqah, dan haji, yang pembiayaannya berasal dari utang. Maka, dia kembali pada bab utang piutang yang memang dibolehkan syariat.
Dengan catatan:
– Ketika dia berutang mesti dalam keadaan yakin mampu membayarnya
– Utang tersebut tidak menambah beban berat utang lama yang masih banyak dan belum dilunaskan, sebab, semua ibadah qurban ini memang dianjurkan bagi mereka yang sedang dalam keadaan lapang rezeki dan istitha’ah (mampu).
Para ulama salaf pun melakukannya, dan mereka tidak memandang masalah dengan berutang untuk berqurban (atau juga aqiqah).
Dalam Tafsir-nya, Imam Ibnu Katsir menceritakan dari Imam Sufyan Ats Tsauri tentang Imam Abu Hatim (riwayat lain menyebut Imam Abu Hazim) yang berutang untuk membeli unta buat qurban.
وقال سفيان الثوري: كان أبو حاتم يستدين ويسوق البُدْن، فقيل له: تستدين وتسوق البدن؟ فقال: إني سمعت الله يقول: { لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ }
Berkata Sufyan Ats Tsauri: Dahulu Abu Hatim berutang untuk membeli Unta qurban, lalu ada yang bertanya kepadanya:
“Anda berutang untuk membeli unta? Beliau menjawab: Saya mendengar Allah Ta’ala berfirman: Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya (unta-unta qurban tersebut).” (Q.S. Al Hajj: 36).
(Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 5/426) Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah menceritakan dari Al Haarits tentang dialog antara Imam Ahmad bin Hambal dan Shalih (anaknya), katanya:
وقال له صالح ابنه الرجل يولد له وليس عنده ما يعق أحب إليك أن يستقرض ويعق عنه أم يؤخر ذلك حتى يوسر قال أشد ما سمعنا في العقيقة حديث الحسن عن سمرة عن النبي كل غلام رهينة بعقيقته وإني لأرجو إن استقرض أن يعجل الله الخلف لأنه أحيا سنة من سنن رسول الله واتبع ما جاء عنه انتهى
Shalih –anak laki-laki Imam Ahmad- berkata kepadanya bahwa dia kelahiran seorang anak tetapi tidak memiliki sesuatu buat aqiqah, mana yang engkau sukai berutang untuk aqiqah ataukah menundanya sampai lapang keadaan finansialnya.
Imam Ahmad menjawab: “Sejauh yang aku dengar, hadits yang paling kuat anjurannya tentang aqiqah adalah hadits Al Hasan dari Samurah, dari Nabi bahwa, “Semua bayi tergadaikan oleh aqiqahnya,”
aku berharap jika berutang untuk aqiqah semoga Allah segera menggantinya karena dia telah menghidupkan sunnah di antara sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan telah mengikuti apa-apa yang Beliau bawa. Selesai. (Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 64. Cet. 1, 1971M-1391H. Maktabah Darul Bayan)
Demikianlah kebolehan berutang untuk berqurban, namun “boleh” bukan berarti lebih utama, sebab lebih utamanya adalah justru membayar utang dahulu, bukan menambah dengan utang baru.
Baca Juga: Hukum Suami Menggantung Status Perceraian dan Berutang atas Nama Istri
Hukum Berutang dan Arisan untuk Qurban
Membayar utang adalah wajib, dan tidak ada khilafiyah atas kewajibannya, sedangkan berqurban adalah sunnah muakadah bagi yang sedang lapang rezeki menurut jumhur ulama, kecuali Imam Abu Hanifah yang mengatakan wajib.
Maka, wajar jika sebagian ulama justru menganjurkan untuk melunaskan utang dulu barulah dia berqurban jika sudah lunas utangnya.
Bagaimana dengan utang yang jangka waktunya panjang, seperti cicilan mobil atau rumah yang mencapai belasan tahun? Apakah orang seperti ini harus menunggu belasan tahun dulu untuk berqurban?
Tidak juga demikian, dia bisa dan boleh saja berutang untuk qurban selama memang dia mampu untuk melunasinya dan tidak mengganggu cicilan lainnya.
Tetapi, bukan pilihan yang bijak jika dia tetap ngotot berutang tetapi keluarganya sendiri sangat merana hidupnya, atau ada kebutuhan mendesak seperti biaya sekolah yang besar, rumah sakit, dan semisalnya. Wallahu a’lam.
Baca Juga: Covid-19, Jangan Biarkan Guru Kita, Dai, Ustaz Berutang untuk Makan
Kedua: Arisan untuk Qurban
Arisan adalah beberapa orang mengumpulkan uang, lalu diundi atau dengan menggunakan nomor urut, maka siapa yang keluar namanya atau namanya lebih dahulu dalam urutan, maka dialah yang mendapatkan uang tersebut untuk membeli hewan qurban.
Ini bukanlah judi, karena semua peserta akan mendapatkan gilirannya, dan tidak ada yang dirugikan. Ada pun judi, bisa jadi ada orang yang menang berkali-kali, sementara yang lain sama sekali tidak dapat undian sampai judi itu selesai.
Dan, arisan menjadi judi jika sekali kocok keluar satu atau beberapa nama, setelah itu bubar, padahal masih banyak orang lain yang tidak dapat.
Nah, arisan secara substansi adalah SAMA dengan berutang, karena uang yang dia dapatkan merupakan hasil kumpulan dari uang peserta lainnya, sehingga dia memiliki utang kepada peserta lainnya.
Jika demikian, maka boleh-boleh saja arisan qurban sebagaimana utang untuk berqurban. Wallahu a’lam.[ind]