HUKUM bertransaksi menggunakan mata uang kripto (Cryptocurrency) ini dijelaskan oleh Ustaz Muhammad Nur Ichwan Muslim, S.T. pada 23 Oktober 2021.
Hukum Bertransaksi Menggunakan Mata Uang Kripto (Cryptocurrency)
الحمْدُ للهِ ربِّ العالمينَ، والصَّلاةُ والسَّلامُ على نبيِّنا محمَّدٍ وآلِه وصحْبِه أجمعينَ، وبعدُ
Banyak pertanyaan yang telah diajukan terkait hukum perdagangan mata uang kripto (cryptocurency/العُملةِ الإلكترونيَّةِ), khususnya Bitcoin (البتكوينُ) yang merupakan jenis mata uang kripto terpopuler.
Artikel ini berusaha untuk menjawab pertanyaan itu.
Pertama, kita harus memahami esensi mata uang kripto (cryptocurency) ini, yang mungkin bisa didefinisikan bahwa mata uang kripto adalah mata uang digital yang terenkripsi dengan tingkat kompleksitas yang sangat tinggi untuk melindungi proses transaksi yang berlangsung dengan menggunakannya.
Salah satu isunya adalah apa yang disebut dengan “double-spend” (الإنفاقَ المُزْدوجَ), yang menciptakan uang dari ketiadaan (إيجاد النقود من لا شيء); atau untuk mengendalikan proses penciptaan unit baru, sehingga hal itu tidak terjadi dengan mudah atau bisa diciptakan oleh siapa pun sehingga menghindari praktik pemalsuan.
Diskusi perihal penggunaan mata uang kripto sebagai alternatif atau pendamping mata uang kertas telah menjadi berita umum di sebagian negara seperti Jepang dan Swedia.
Pencetakan mata uang di atas kertas cukup menghabiskan harta dan tenaga; dan dengan adanya kecenderungan dunia mengarah pada era elektronik, maka ketimbang mencetak mata uang di atas kertas maka lebih baik mencetaknya dalam bentuk angka atau bentuk elektronik yang tersimpan di perangkat komputer;
akan tetapi ia dienkripsi dengan cara yang sangat kompleks sehingga tidak ada kemungkinan untuk disalin dan dipalsukan seperti yang bisa terjadi pada mata uang kertas.
Mata uang kripto pun terdiri dari beberapa jenis sebagaimana halnya dengan mata uang kertas yang terdiri dari Dolar, Poundsterling, Riyal, Yen, dan lain-lain.
Bitcoin, Lightcoin, Ethereum adalah sejumlah contoh dari mata uang kripto.
Baca Juga: JP Morgan Chase Jadi Bank Pertama Kelola Investasi Aset Kripto
Demikian pula, kita bisa mengetahui bahwa mayoritas jenis mata uang kripto tidak berstandarkan oleh segala jenis harta yang bersifat riil (مُغطًّى بأيِّ نوعٍ مِن أنواعِ المالِ الحقيقيِّ); tidak emas, tidak pula oleh mata uang kertas.
Sebagian jenis mata uang kripto diyakini oleh pemiliknya berstandarkan harta, atau mungkin saja berstandarkan emas dan perak.
Namun, sebenarnya saya tidak mengetahui bagaimana sebenarnya mata uang ini itu berstandarkan harta, kecuali sebatas janji dari sebagian pihak yang menggunakannya dalam transaksi, yaitu membelinya dengan sejumlah harta atau barang berwujud (tangible goods).
Inilah perbedaan utama antara standar dan kemampuan membeli yang akan dijelaskan kemudian.
Perbedaan antara mata uang kripto dan mata uang kertas adalah mata uang kertas umumnya hanya diterbitkan oleh Bank Sentral suatu negara dan diakui secara internasional.
Adapun mata uang ini awalnya diterbitkan oleh sejumlah pihak dan individu, baik diketahui maupun tidak diketahui.
Ia tidak tunduk, hingga saat ini, pada regulasi dan ketentuan perundang-undangan internasional, meskipun ada orientasi untuk menuju ke sana.
Oleh karena itu, para penyelundup dan yang semisal mereka menggunakan mata uang kripto ini sebagai alternatif mata uang kertas, karena ia mampu mengatasi transaksi-transaksi perbankan yang tunduk pada pengawasan internasional.
Selain itu, nilai mata uang kripto ini mampu berfluktuasi sangat signifikan dalam waktu singkat dan dipengaruhi oleh sejumlah variabel pasar yang banyak, yang boleh jadi bersifat artifisial.
Sementara nilai mata uang kertas pada umumnya terpengaruh dengan kekuatan dan kelemahan ekonomi negara.
Nilainya pun tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan nilai mata uang kripto dari segi stabilitas dan osilasi.
Jika bukan karena mata uang ini diterima oleh sebagian besar orang, baik disengaja atau tanpa disengaja oleh pihak yang menerbitkannya, tentu ia tidak memiliki nilai apa pun.
Bahkan pada dasarnya ia tidak layak disebut sebagai mata uang karena asal-usul uang adalah sesuatu yang diterima sebagai media perantara untuk membeli dan melakukan transaksi keuangan.
Dalam artian, uang itu memungkinkan untuk digunakan dalam pembelian dan penjualan secara luas dan bukan hanya pertukaran yang terbatas dan bertopang pada persetujuan kedua belah pihak.
Sebagai contoh, diasumsikan ada dua belah pihak yang saling melakukan pertukaran, dimana salah satu pihak memberikan pakaian, sementara pihak lain mengambil pakaian itu dengan menukarkan makanan sebagai kompensasi.
Dalam hal ini, makanan dan pakaian tersebut tidak dapat dianggap sebagai uang. Bahkan jika kita berasumsi dengan berargumen bahwa apabila suatu pakaian tertentu bisa diterima sangat luas di masyarakat karena mampu dipertukarkan dengan barang lain.
Manusia dapat menyimpannya untuk digunakan sebagai media tukar di saat membutuhkan; dan semua itu bukan karena statusnya sebagai pakaian tapi karena fungsinya yang menyimpan harta (menjaga nilai) sehingga bisa digunakan untuk membeli dan menjual, maka dalam kondisi tersebut status pakaian itu sama dengan status uang meskipun hal ini merupakan realita yang tak terbayangkan dapat terjadi.
Saya mengira hal itu hanya bisa terjadi dalam sejarah di waktu-waktu tertentu sebagai hasil dari keadaan yang spesifik dan tidak permanen.
Inilah wawasan yang dimiliki Imam Malik (w: 179H) sejak dahulu, pada saat beliau mengatakan,
ولو جَرَت الجلودُ بيْن الناسِ مَجرى العَينِ المسكوكِ، لَكَرِهتُ بيْعَها بذَهبٍ أو وَرِقٍ نَظِرَةً
“Seandainya kulit berfungsi sebagai mata uang di tengah-tengah masyarakat, saya enggan menjualnya untuk dipertukarkan dengan emas dan perak.”
Di sini, saya melihat suatu keharusan untuk mengingatkan perbedaan antara suatu komoditi yang memiliki nilai yang sesungguhnya (nilai asli) yang melekat pada fisiknya, yang kemudian dianggap sebagai harta yang dipergunakan untuk membeli dan menjual; nilainya sebagai uang sebanding dan mendekati nilai aslinya, tidak terpisah secara total.
Dan suatu komoditi yang tidak memiliki nilai pada fisiknya sebagaimana halnya dengan uang kertas dan mata uang kripto (mata uang digital).
Dengan demikian, nilai kertas yang di atasnya tercantum nominal sebesar 100 dolar sama sekali tidak sebanding dengan nilai 100 dolar itu.
Inilah perbedaan mendasar yang mengakibatkan sulit untuk menganalogikan antara sesuatu yang diterima masyarakat sebagai media perantara yang berfungsi sebagai uang dan tidak memiliki standar nilai yang riil seperti uang kertas dan sesuatu yang diterima masyarakat untuk digunakan bertransaksi layaknya uang yang memiliki nilai asli pada fisiknya, seperti contoh pakaian yang disebutkan tadi.
Emas dan perak telah diterima manusia untuk digunakan dalam transaksi mereka. Allah telah menitipkan penerimaan keduanya sebagai media perantara yang berfungsi sebagai uang dalam fitrah manusia.
Meskipun demikian, keduanya memiliki nilai pada fisiknya, sehingga pembahasan keduanya merupakan hal yang berbeda.
Itulah mengapa keduanya istimewa dibandingkan yang lain. Syariat menganggap keduanya memiliki ketentuan-ketentuan yang khusus, pembahasannya disampaikan secara terpisah oleh para ahli fikih dalam topik Sharf dan Riba.[ind]
(bersambung)
Sumber: https://muslim.or.id/69188-hukum-bertransaksi-menggunakan-mata-uang-kripto-cryptocurrency.html