ChanelMuslim.com- Angka dua itu sepertinya sakral. Kalau lebih, tidak stabil. Berkurang pun bisa bikin suasana labil.
Semua pasangan suami istri tentu ingin bersama selamanya. Suka dan duka. Sedih atau pun bahagia. Tapi, jalan hidup itu kadang bukan pilihan. Mau tidak mau, suami atau istri harus “pergi” duluan.
Saat itu juga, ada ketidakseimbangan muncul. Siapa pun yang “pergi” duluan, istri atau suami. Sejumlah kegamangan pun mondar-mandir. Tetap menjadi orang tua tunggal, atau membuka datangnya sosok baru untuk menjadi dua lagi.
Yang jelas, menimbang antara dua pilihan itu bukan perkara mudah. Butuh ketenangan dan kehati-hatian agar pilihan yang diambil menjadi solusi, bukan masalah baru.
Menimbang Calon Baru
Menghitung tentang siapa calon pasangan baru berbeda saat awal pernikahan. Mulai dari urgensi dan keadaan masing-masing calon pasangan.
Di awal pernikahan, urgensinya sama-sama ingin membina mahligai rumah tangga. Masing-masing calon pasangan masih sama-sama belajar dan sama-sama dibuai bayang-bayang idealisme tentang sosok keluarga.
Namun ketika momennya ingin menyambung pernikahan, boleh jadi urgensinya variatif. Mulai dari ingin menyalurkan kebutuhan biologis secara Islami, mencari alternatif pemenuhan nafkah keluarga, juga karena ingin memenuhi kebutuhan anak-anak terhadap sosok ayah atau ibu.
Karena itu, menimbang siapa calon pasangan bisa diukur dari salah satu dari tiga urgensi ini yang dominan. Dari situlah pertimbangan sosok calon baru tergambar.
Contoh, jika urgensinya karena kebutuhan biologis, mungkin pertimbangan kecocokan pasangan menjadi pertimbangan utama. Soal usia dan status sosial mungkin relatif, karena kecocokan boleh jadi didominasi soal rasa.
Berbeda jika urgensinya soal penyelamatan nafkah keluarga, maka status ekonomi mungkin bisa menjadi pertimbangan penting. Karena bagaimana mungkin yang akan disandarkan tidak mampu menopang dirinya sendiri.
Urgensi ini biasanya dialami pihak wanita. Karena umumnya wanita terbiasa aktif di urusan internal rumah tangga, sehingga urusan penghasilan keluarga ditopang pihak suami.
Sehingga sosok suami yang dinominasi biasanya yang memiliki ekonomi yang lumayan mapan, selain kesolehan tentunya.
Tidak peduli apakah duda atau masih memiliki istri dan keluarga. Tidak menjadi kalkulasi pula soal apakah masih muda atau sudah tua. Bukan berarti niatnya karena harta, tapi lebih karena kemaslahatan diri dan anak-anak.
Keadaan darurat ini boleh jadi lebih banyak terjadi di masyarakat kita. Seorang istri yang belum pernah mencari nafkah, ditinggal mati suami bersama tanggung jawab mengurus anak-anak yang masih kecil.
Urgensi kebutuhan anak-anak tentang kelengkapan sosok ayah atau ibu juga tidak bisa dianggap remeh. Biasanya anak-anak yang masih balita. Mereka belum memahami orang tua kandung atau bukan. Yang penting ada dan mampu berperan sebagai sosok ayah atau ibu kandung sendiri.
Jika tiga urgensinya diyakini sudah terpenuhi, maka langkah berikutnya tekad dan tawakal. Jangan ada keraguan dan selalu berserah diri kepada Allah. [Mh/bersambung]