ChanelMuslim.com- Harmonis itu dambaan suami istri. Namun, realita kadang tak seindah idealita. Yang dicita-citakan terganjal dengan kenyataan. Pilihannya berat: mau pura-pura harmonis, atau pisah?
Perjalanan hidup berumah tangga kadang tak semulus yang dibayangkan seperti saat awal pengantin baru. Ada konflik. Ada ketidakcocokan. Ada PIL dan WIL. Atau ada-ada yang lain.
Dalam keadaan seperti ini, pilihannya dua. Yaitu, tetap terus bertahan meskipun harmonisnya cuma buatan. Atau pisah di tengah jalan. Asal jangan yang ketiga, tegang dan ribut terus entah sampai kapan.
Harmonis Pura-pura
Ada masanya konflik antar suami istri yang lumayan serius perlu dikemas manis karena mempertimbang kiri, kanan, depan, dan belakang.
Kiri, kanan, depan, dan belakang merupakan istilah untuk pihak-pihak di luar suami istri yang perlu dijaga stabilitasnya agar tidak terdampak buruk terhadap kenyataan yang terjadi.
Mereka adalah orang tua, mertua, anak, dan tetangga. Terkesan hal ini seperti pencitraan. Tapi, hal ini sebagai upaya meminimalisir dampak negatif yang muncul. Cukuplah yang tidak nyaman pihak-pihak yang bertikai, bukan pihak lain yang tidak bersalah.
Tentu hal ini butuh kedewasaan dua pihak: suami dan istri. Karena cara ini tidak akan bisa dilakukan oleh mereka yang emosional atau kekanak-kanakan.
Keduanya hanya bisa berterus terang kepada pihak yang dinilai mampu mengurai masalah yang tengah terjadi. Dan yang mereka inginkan solusi bukan sekadar melontarkan curhatan.
Ujung dari drama ini boleh jadi pada dua persimpangan. Pertama, keduanya kembali menemukan titik temu. Dan harmonisnya pun bukan lagi pura-pura, tapi sungguhan.
Kedua, suami istri ini memutuskan target waktu untuk benar-benar pisah. Jika pada waktu tertentu memang tidak juga ditemukan solusi, keputusan pahit pun terpaksa menjadi pilihan.
Karena mereka bermain pada level “kelas atas”, halus dan tidak pernah terbaca oleh lingkungan sekitar; pertimbangan untuk memilih tetap lanjut pun menjadi yang utama.
Ada pepatah Arab mengatakan, al-waqtu juz’un minal ‘ilaj. Waktu merupakan sebagian dari proses solusi. Artinya, boleh jadi dalam rentang waktu tertentu, masalah yang dinilai rumit ternyata bisa terurai dengan sendirinya.
Yang jelas, selama “injury time” ini masing-masing pihak tetap berada dalam pagar syariat. Masih tinggal serumah, bahkan mungkin sekamar. Artinya, tidak membuka “hubungan” baru dengan calon pasangan lain.
Selain hal itu terlarang, perilaku itu akan memecah fokus dari masalah yang dihadapi. Prinsipnya, keduanya ingin kembali harmonis seperti semula. [Mh/bersambung]