WAJAH’ asli suami istri akan terlihat pada waktunya. Saat itulah keadaan positif atau negatif bisa terjadi.
‘Wajah’ atau karakter bisa saja dimanipulasi. Termasuk ‘wajah’ suami istri. Di saat masih pengantin baru ‘wajah’ asli masih tertutup pencitraan. Tapi selang beberapa tahun, masing-masing akan menemukan ‘wajah’ asli satu sama lain.
Misalnya, yang aslinya malas akan terlihat malasnya, yang aslinya pemarah akan terlihat pemarahnya, yang egois akan terlihat egoisnya, dan yang aslinya pelit akan terlihat pelitnya.
Dampak positif dan negatif bisa muncul dari ‘wajah’ asli yang terungkap. Dan hal itu bisa dianggap sebagai hal yang wajar.
Dampak Positif
Ada pepatah Arab yang mengatakan, ‘Idzaa tamaamul mahabbah, saqothol adab.’ Manakala cinta tumbuh sempurna, maka adab tak lagi diperlukan.
Contoh, seorang suami pulang dari kerja, merasa capek. Ia pun bilang ke istrinya, “Maaf, boleh nggak aku tiduran di sofa ini?”
Gaya yang terlalu sopan itu justru bisa menjadi tertawaan istri. “Lha Mas kok seperti tamu aja!” ucap istri. Kenapa?
Karena sudah menjadi hal lumrah jika suami bisa apa saja di rumahnya sendiri. Apalagi sekadar tiduran di sofa. Artinya, adab antara suami istri yang sudah menyatu hatinya tidak sama dengan seperti tamu dengan tuan rumah.
Contoh lain, istri terhadap suami. Sepulang dari kerja, istri mengatakan kepada suaminya di rumah, “Maaf, bolehkah saya melepas jilbab saya? Rasanya gerah sekali!”
Tentu, pertanyaan itu akan dianggap sangat aneh oleh suami. Bukan lagi sekadar terlalu sopan, tapi juga di luar kewajaran. Jangankan melepas jilbab, melepas baju pun tidak akan dianggap tidak sopan. Karena suami istri sudah menyatu dalam hati pernikahan.
Ketika cinta sudah tumbuh sempurna, suami istri akan berinteraksi satu sama lain dalam karakter aslinya. Meskipun tidak lagi sesuai dengan ‘wajah’ luarnya di saat pengantin baru dulu, tapi hal itu sudah menjadi pemakluman.
Dampak Negatif
Tidak semua penampakan ‘wajah’ asli suami istri akan berujung mulus. Ada juga yang bisa memunculkan masalah baru.
Hal ini karena masing-masing pihak memiliki standar idealisme yang tidak luwes, saklek atau kaku. Hal inilah yang akan terus menjadi penghambat melarutnya ikatan cinta suami istri.
Contoh, belakangan diketahui oleh suami bahwa istri tidak bisa masak.
Jika suami begitu idealis bahwa seorang istri harus pandai masak, maka kenyataan ‘wajah’ asli istri ini akan memunculkan kesenjangan hubungan keduanya. Padahal, masak itu hanya sekadar skill atau keterampilan. Bukan sesuatu yang prinsipil dari sosok seorang istri.
Contoh lain, belakangan diketahui kalau suami tidak pandai bisnis.
Tidak semua pria memiliki keterampilan bisnis atau wirawasta. Keterampilan ini bisa muncul dari bakat alami, bisa juga dari pola asuh keluarga suami.
Akan muncul masalah ketika istri menilai bahwa setiap suami harus pandai bisnis. Dan ketika kenyataan ini ditemukan, akan memunculkan kesenjangan hubungan.
Harus dibedakan antara keterampilan bisnis dengan tanggung jawab mencari nafkah. Yang prinsip adalah tanggung jawab mencari nafkah dari suami, bukan keterampilan tentang bisnis.
Karena nafkah bisa diraih dengan berbagai cara. Antara lain, sebagai tenaga profesional: menjadi guru, sekuriti, dan lainnya.
Namun begitu, sebagai sebuah keterampilan, bisa saja suami belajar berbisnis. Dan hal ini perlu dukungan dari pihak istri. Bukan sebaliknya, menjatuhkannya sebagai suami yang kurang terampil.
‘Wajah’ asli suami istri tidak akan mungkin tertutupi satu sama lain. Yang harus disiapkan adalah dasar cinta yang sempurna dan apa adanya. Bukan cinta yang hadir karena syarat-syarat tertentu yang materialis. [Mh]