ChanelMuslim.com- Pasangan itu keseimbangan. Harmonis itu langgeng. Bisakah pasangan yang tetap selaras dan seimbang bisa diraih tanpa pacaran?
Pasca remaja, pria dan wanita mendambakan rumah tangga sakinah, mawadah, dan rahmah. Dambaan itu tentu harus melalui sebuah pintu: nikah.
Pasalnya, bisakah dambaan itu bisa diperoleh jika nikah dengan seseorang yang belum dikenal dekat. Bahkan tahu nama dan gambarnya pun melalui orang lain.
Rasa yakin dan ragu pun timbul tenggelam seperti penampakan perahu kecil di tengah ombak besar. Kalau memang mungkin, bagaimana caranya?
Pacaran dan Berhala Cinta
Sebenarnya pacaran bukan budaya umat Islam. Apalagi disebut sebagai tradisi turun temurun. Tidak dikenal adanya dongeng rakyat, cerita tradisional, dan sejenisnya yang mengukuhkan adanya pacaran di budaya nusantara.
Orang selalu merujuk pada kisah Romeo dan Juliet. Kisah tentang cinta dua remaja ini murni bukan asli dalam negeri. Kisah itu muncul dan merebak di tengah gencarnya “serangan” informasi budaya Barat.
Di negeri-negeri muslim pun tak dikenal budaya asing ini. Tapi anehnya, pacaran seperti menjelma menjadi rukun nikah yang harus ada. Kalau tidak ada pacaran, seolah rumah tangga nantinya akan sengsara.
Sebelum ada radio dan televisi, apalagi internet, pernikahan di kalangan umat Islam berlangsung tanpa dilalui kreativitas liar seperti pacaran. Karena itulah, kesukuan menjadi begitu solid. Hal ini karena pernikahan biasa berlangsung antara sanak kerabat yang bukan mahram. Seperti sepupu, dan lainnya.
Mereka menikah bukan karena hasil gerilya. Melainkan karena dijodohkan oleh orang-orang tua, guru ngaji, dan tokoh masyarakat setempat. Toh mereka pun hidup dalam rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.
Karena dijodohkan, biasanya mereka menikah di usia muda. Bahkan sangat muda. Hal inilah yang menjadikan negeri muslim mengalami berlimpahnya keturunan. Banyak anak, banyak rezeki.
Berbeda dengan masyarakat Barat. Karena pacaran, mereka enggan menikah. Akibatnya, kelahiran bayi begitu minim. Krisis negeri Barat adalah krisis populasi. Karena warganya enggan menikah, dan anti punya anak.
Selama budaya asli Indonesia tanpa pacaran itu berlangsung, tak heran jika masing-masing daerah memiliki silsilah keturunan. Ini terjadi karena budaya steril dari perilaku perzinahan yang muncul akibat pacaran. Tak mungkin akan ada silsilah keturunan jika ada perzinahan.
Pacaran justru datang bersama penjajahan dari Barat. Mereka bukan hanya merampas aset umat, tapi juga meracuni anak keturunan umat dengan pra-perzinahan yang disebut pacaran.
Melalui kecanggihan teknologi informasi dan audio visual, pacaran dikemas sedemikian rupa seolah begitu menarik, humanis, dan lazim. Sejak itulah, para pemuda dan pemudi kurang tergerak untuk segera menikah karena masih asyik dalam penjajakan dan pendekatan, istilah lain dari pacaran.
Pacaran yang diajarkan Barat itu seolah menjadikan cinta sebagai titik gol keharmonisan. Padahal, cinta yang tanpa tanggung jawab, tanpa ikatan hukum, tak lebih dari perbudakan syahwat yang disetir setan. Dan setan tak pernah mengajarkan sesuatu, kecuali kehancuran. [Mh/bersambung]