KOMPROMI atau kesepakatan dari perbedaan bisa terjadi di mana saja: di politik, ekonomi, sosial, termasuk juga dalam kepentingan suami istri.
Beda kepentingan bisa memunculkan selisih jalan pikiran. Begitu pun dalam interaksi suami istri. Tapi selisih jalan pikiran itu tidak mesti berujung konflik kepentingan. Karena selalu ada kompromi.
Perlu ada penyiasatan yang baik agar kompromi bergulir mulus. Ini di antara penyiasatan kompromi itu:
Satu, Selalu Ada Titik Temu
Suami istri itu seperti dua arus listrik: positif dan negatif. Jika dua arus ini tidak mau mencari titik temu, maka arus listrik tidak akan terjadi.
Selama kepentingan suami istri tidak menyelisihi nilai-nilai syariah, maka dua pihak harus belajar untuk mencari titik temu.
Misalnya, antara tabungan untuk membiayai umrah atau untuk modal investasi. Dua kepentingan ini sama-sama baik. Dan dua-duanya tidak bertentangan dengan syariah.
Karena itu, mestinya ada titik temu antara dua pilihan ini. Tapi, harus dipahami bahwa pilihan mana pun yang sudah diambil secara bersama, jika gagal, jangan disalahkan ke si pengusul awal. Karena hal itu sudah menjadi kesepakatan bersama.
Dua, Jangan Ada Pihak yang Dikalahkan
Inti dari kompromi adalah win win solution atau solusi untuk bersama. Meski beda kepentingan, tapi dalam kompromi, dua-duanya sama-sama diuntungkan.
Semangat ini muncul dari paradigma bahwa tidak boleh ada kepentingan yang dikalahkan.
Contoh, suami istri sama-sama bekerja. Tapi ketika si kecil perlu perhatian khusus ayah ibu, maka salah satu dari keduanya harus rela tinggal di rumah.
Umumnya, pihak ibu yang lebih pas tinggal di rumah. Sayangnya, tidak semua ibu bisa mengorbankan karirnya karena sesuatu dan lain hal.
Boleh jadi ukuran komrominya pada siapa yang lebih fleksibel. Misalnya, siapa yang bisa tetap berkarir tapi tetap bisa tinggal di rumah bersama si kecil. Nah, penilaian ini bisa jatuh pada ibu, tapi tidak tertutup kemungkinan pula pada ayah.
Yang penting, kontak batin utama si kecil tetap pada ibu. Ada cara-cara lain di mana si ibu tetap lancar berkomunikasi dengan si kecil, meski dari jarak jauh.
Tiga, Semangat Kompromi untuk Kebaikan Bersama
Membuat kompromi suami istri harus dilihat dari kepentingan bersama secara jernih. Bukan adu dominasi.
Misalnya, profesi istri sangat dibutuhkan oleh orang banyak, bisa sebagai dokter, pejabat negara, pimpinan organisasi, dan lainnya. Karena itu, suami bisa mengalah selangkah untuk lebih banyak di rumah.
Contoh lain, istri mengalami sakit parah permanen misalnya struk. Keadaan ini menjadikan istri tidak bisa ‘melayani’ suami secara normal. Karena itu, istri membolehkan suami untuk menikah lagi.
Yang jelas kompromi tidak mengalahkan nilai-nilai syariah, seperti hal yang dilarang Islam. Selain itu, dalam bentuk kompromi apa pun, suami tetap sebagai kepala keluarga. [Mh]