ChanelMuslim.com- Dunia ini hiasan. Sebaik-baik hiasan adalah wanita shalihah.
Pernikahan menghalalkan hubungan pria dan wanita. Bukan hanya halal, hubungan suami istri bahkan mendapat ganjaran pahala.
Seorang sahabat Nabi pernah bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana mungkin urusan tentang syahwat bisa meraih pahala?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kalau hubungan itu dilakukan terhadap yang bukan halal, akan mendapat dosa. Maka, hal yang sebaliknya akan mendapat pahala.”
Namun begitu, hubungan suami istri bukan hanya tentang urusan ranjang, atau seksual. Lebih dari itu, hubungan suami istri Allah sebut sebagai azwaja. Persis seperti dua benda yang dialiri magnit positif dan negatif, yang selalu nempel dalam hal selera, jiwa, dan rasa.
Ada Transformasi Iman, Ilmu, dan Kesejahteraan
Hubungan suami istri bukan sekadar kegiatan rutin pria dan wanita yang dibingkai kehalalan dalam hubungan seksual. Karena ruang lingkup hubungan itu begitu luas.
Antara lain adanya transformasi atau penyetaraan antar suami istri dan keluarga besar. Transformasi itu bisa mencakup keimanan, keilmuan, dan kesejahteraan.
Seorang suami yang soleh patut menularkan istri ikut menjadi solehah. Dan begitu sebaliknya. Tidak boleh yang soleh hanya suami atau istri saja. Bahkan keluarga besar pun harus ikut “kecipratan” solehnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan tentang itu. Nabi memuji suami yang bangun malam untuk qiyamul lail dan membangunkan istrinya, meskipun dengan mencipratkan air agar “dipaksa” bangun. Begitu pun sebaliknya.
Allah subhanahu wata’ala juga memerintahkan untuk mengingatkan atau mendakwahi keluarga besar. “Dan berikanlah peringatan terhadap keluarga dekatmu.”
Transformasi kesolehan suami istri ini suatu saat akan menjadi transformasi kesolehan yang turun temurun ke anak cucu. Dan hal ini merupakan investasi pahala yang luar biasa.
Kelak di akhirat, yang masuk surga dari keluarga soleh ini bukan hanya suami istri dan anak-anak mereka. Melainkan juga seluruh cucu dan cicit mereka yang ikut terwarnai kesolehan mereka. Satu sama lain akan saling mendongkrak pahala sehingga berkumpul dalam surga yang sama.
Begitu pun dengan transformasi ilmu dan ekonomi. Suami istri meski awalnya berbeda tingkat ilmu dan ekonominya, secara perlahan tapi pasti akan saling mendongkrak kekurangan mereka.
Suami atau istri yang lebih tinggi ilmu akan menularkan pasangannya. Begitu pun dengan soal kemampuan ekonominya.
Seorang suami atau istri harus terlebih dulu mengajarkan pasangannya sebelum atau seiring dengan mengajarkan orang lain. Harus ada momen-momen khusus untuk belajar atau saling berdiskusi tentang keilmuan.
Hal itulah yang diperoleh dari istri-istri Nabi radhiyallahum ajmain. Mereka menyerap banyak keilmuan dari Nabi. Terutama hal-hal yang berkaitan dengan hubungan suami istri, tentang keluarga, dan anak-anak. [Mh]