ChanelMuslim.com- Cinta itu bukan memberi yang disuka. Karena tidak semua yang disuka itu baik. Cinta itu memberi yang Allah ridhai.
Suami istri sejatinya menjadi pasangan yang tidak pernah “mati”. Di dunia pasti akan dipisah oleh usia. Bisa suami yang duluan pergi, dan bisa pula istri yang lebih awal. Tapi di akhirat, cinta akan berlanjut di suasana yang berbeda.
Karena itu, cinta sejati merupakan wujud lain dari saling menjaga. Yaitu, menjaga agar cintanya senantiasa dalam ridha Ilahi. Meskipun rasanya terkadang agak pahit.
Contoh, membangunkan suami atau istri di waktu malam untuk ibadah. Dua keadaan terjadi bertolak belakang di saat bersamaan. Satu sisi, ada rasa kasihan memutus kenikmatan tidur pasangan. Tapi di sisi lain, kasihan juga kalau malamnya habis hanya untuk tidur.
Padahal, di waktu malamlah ibadah begitu dianjurkan. Semua Nabi, para sahabat, ulama, dan orang-orang soleh, tak pernah membiarkan malamnya berlalu menuju pagi hanya untuk sekadar tidur. Mereka sisihkan sepersekiannya untuk ibadah, zikir, dan munajat kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Nah, itulah cinta sejati. Mampukah cinta itu memberikan yang terbaik menurut Allah, bukan terbaik menurut perasaan kita.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memuji suami istri yang saling menyipratkan air untuk pasangannya. Bukan untuk mengganggu tidur nyenyaknya. Melainkan untuk mengajaknya menggapai sesuatu yang terbaik di sebagian malam.
Contoh lain, “memaksa” sebagian hartanya untuk diinfakkan. Kenapa “memaksa”? Karena kalau tidak “dipaksa”, tidak akan pernah ada infak atau sedekah. Bukan lantaran kikir atau pelit. Tapi memang karena jatah yang diterima sangat ngepas alias cekak.
Nabi juga pernah memuji infak yang seperti ini. Yaitu, infak yang dilakukan oleh mereka yang sedang kekurangan. Bukan soal jumlahnya. Tapi karena nilai pengorbanannya yang super maksimal.
Berat memang “memotong” uang belanja yang cekak hanya untuk infak. Tapi, itulah yang terbaik untuk investasi suami istri buat di akhirat. Berat dan pahit. Tapi balasannya nanti akan begitu terasa manis.
Contoh lain, melepas anak-anak belajar agama secara khusus. Bisa di pesantren, bisa juga saat harus belajar di luar negeri untuk memperoleh guru-guru yang terbaik.
Tidak ada pihak yang paling pantas untuk diminta rela: suami atau istri. Kalau rasa berat di urusan ini bisa datang dari suami atau pun istri.
Berat ketika membayangkan putera-puterinya yang masih remaja pergi jauh dan bertahun-tahun tidak kembali. Bagaimana kalau ia sakit? Bagaimana kalau ada temannya yang tidak cocok. Bagaimana kalau ia tidak betah. Belajar tiap hari, siang dan malam. Tak ada televisi. Tak ada kesempatan nyantai sama-sama keluarga di mal, atau tempat wisata.
Bagaimana kalau makanannya kurang memadai. Bagaimana kalau ada gurunya yang galak. Bagaimana ini dan itu, dan seterusnya.
Meluruskan keberatan pasangan terhadap itu merupakan cinta sejati. Berat dan pahit karena siapa pun orang tua pasti ingin dekat dan selalu bersama putera-puterinya. Apalagi terhadap anak wanita.
Menakar Cinta Sejati
Kalau bicara soal cinta sejati, siapakah yang lebih tinggi cintanya di banding Allah Subhanahu Wata’ala dengan sang kekasih, Baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nama Yang Maha Agungnya disandingkan dengan nama Rasul-Nya.
Namun, bagaimana potret hidup Nabi saat masih bersama keluarga, para sahabat, dan umatnya saat itu. Seberapa besar ukuran rumah tinggalnya? Seberapa mewah dan bergizi makanan sehari-harinya? Seberapa banyak hartanya? Seberapa nyaman suasana hidupnya?
Kenyataannya, semua pertanyaan itu seperti bertolak belakang dengan yang dialami sang kekasih. Ia lahir tanpa pernah bertemu ayahnya. Ia besar tanpa bersama ibu tercinta. Hidupnya tidak kaya. Ia pernah menjadi penggembala demi sesuap makan. Rumahnya kecil. Tabungannya nol. Musuhnya datang dari segala penjuru. Enam dari tujuh anaknya wafat sebelum ia meninggal dunia. Dan ia wafat tanpa mewariskan harta.
Itulah cinta sejati. Terasa berat dan pahit. Padahal, dunia dalam genggaman Allah. Semua yang ada di langit dan di bumi tunduk dalam KuasaNya. Dan Ia berkuasa untuk melakukan apa pun.
Cinta sejati ternyata bukan memberikan apa yang disuka. Tapi, menjaga agar yang diterima selalu yang terbaik. Terbaik menurut bimbingan Allah. Bukan selera manusia. (Mh)