ChanelMuslim.com- Berinteraksi dengan orang-orang yang dicintai tak ubahnya seperti upaya keras untuk membentuk hati. Terhadap apa pun dan siapa pun. Seperti, pasangan suami istri yang baru mulai mengukir hati, setelah sebelumnya tak kenal sama sekali.
Bayangkan ketika Anda berada di sebuah ruangan dengan orang yang baru dikenal. Itu pun hanya sebatas profil singkat. Ketemuan pun tidak lebih dari tiga kali, dan selalu ada pihak lain yang mendampingi.
Tentu, berbagai misteri masih tersimpan utuh. Seribu satu pertanyaan hanya bisa menggantung: apakah dia ramah atau sebaliknya, apakah dia penyabar atau sebaliknya, apakah dia suka gurau atau sebaliknya, apakah dia lembut atau sebaliknya, apakah dia murah hati atau sebaliknya, apakah dia rajin atau sebaliknya, apakah dia sangat perhatian atau sebaliknya, dan seterusnya.
Malam pertama, kedua, ketiga, dan berlanjut hingga satu bulan; boleh jadi masih tergolong momen-momen pemanasan. Masing-masing pihak masih berada dalam posisi sosok imajiner yang serba baik. Belum terlihat wajah aslinya.
Pekan berganti bulan, dan bulan pun menuju tahun; barulah mulai terlihat potongan sosok asli pasangan kita. Sebaiknya, jangan menilai pada saat keadaan nyaman. Tapi, nilailah pasangan kita di saat situasi tidak nyaman. Misalnya, ketika hujan deras dan atap rumah tiba-tiba bocor. Contoh lain, ketika suasana malam, tiba-tiba kendaraan yang ditumpangi mengalami kempis ban atau mogok. Dan lainnya.
Ada juga situasi alami yang bisa secara instan menguji sosok pasangan. Yaitu, ketika tiba-tiba telat datang bulan. Penyakit umum hamil muda biasanya suka merepotkan: muntah dan mual, pucat dan lemas, inginnya tidur seperti tidurnya orang sakit, dan berimajinasi untuk bisa memakan sesuatu yang tidak ada atau langka.
Saat itulah, sosok asli pasangan, perlahan tapi pasti, mulai terlihat. Satu atau dua kali mungkin masih bisa pencitraan. Tapi untuk yang kesepuluh kali, pencitraan sudah berganti wajah asli.
Begitu pun dengan pihak wanita. Selama proses adaptasi alami itu, sosok asli wanita apa adanya kian tampak jelas: manjanya, bawelnya, egoisnya, bahkan galaknya. Begitu pun dengan wajah asli yang baik-baiknya. Semua mulai terlihat. Walaupun, tidak semuanya. Karena umumnya wanita lebih pandai dari laki-laki dalam hal menyimpan rahasia. Terutama, rahasia hati.
Waktu Sebagai Bagian dari Solusi
Di masa adaptasi, pasangan muda sebaiknya tidak terburu-buru membuat kesimpulan dini tentang sosok pasangannya. Karena masa adaptasi merupakan fase peralihan dari dunia orang tua kepada dunia suami istri. Segalanya bisa berubah.
Ada rumus umum yang biasa berlaku di masa adaptasi. Jika pasangan kita anak sulung, ada kemungkinan akan terbiasa menggunakan gaya mengatur-atur, mendominasi, dan lainnya. Tidak ada pengecualian, apakah si sulung pria atau wanita. Tapi tidak semua anak sulung punya output seperti itu.
Begitu pun dengan si anak bungsu. Tidak ada pengecualian apakah dia pria atau wanita, keumuman dari sifat anak bungsu bisa muncul sama: kurang kreatif, menunggu respon, peragu, dan kurang mandiri. Tapi lagi-lagi, tidak semua anak bungsu seperti itu.
Ketika mendapati kenyataan ini, jangan cepat mengambil kesimpulan tentang karakter pasangan kita. Walaupun, awalnya memang terlihat seperti itu. Pada masanya, dan itu butuh waktu, sifat bawaan itu akan terkikis dengan sendirinya seiring dengan rutinitas baru di masa adaptasi.
Pada momen ini, ada baiknya, jika pasangan baru ini melakoni rumah tangga mereka dengan berlepas dari keluarga induk: baik keluarga suami atau pun istri. Dengan cara inilah, bayang-bayang tentang sosok si sulung dan bungsu bisa cepat terkikis.
Selain itu, kasihan juga orang tua yang sudah capek dan repotnya membesarkan anak-anak mereka, setelah sudah menikah, masih menjadi beban mereka. Biarkan orang tua menarik nafas sesaat untuk sekadar mendapatkan suasana baru tanpa anak-anaknya yang sudah menikah.
Mungkin, ada juga tipe orang tua yang protektif. Dia merasa bahwa anaknya adalah anaknya yang ia biasa asuh sejak kecil, meskipun sudah punya keluarga baru. Orang tua ini akan merasa kesepian atau mengalami post power syndrome atau masa kehilangan sesuatu yang biasa ia kuasai.
Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Seiring bergulirnya waktu, perubahan-perubahan di sisi orang tua pun akan terjadi. Tentu dengan tidak secara drastis. Anak-anaknya yang sudah menikah, sebaiknya tetap mengunjungi orang tua tersebut secara rutin, meskipun secara bertahap akan terus dilakukan penjarangan.
Ketika pasangan muda ini sudah benar-benar berada di perahu milik mereka, perubahan dan peralihan karakter individu pun mulai terasa. Karena itulah, pasangan muda yang secepatnya melepas dominasi orang tua, akan jauh lebih sukses beradaptasi daripada yang berlambat-lambat berada dalam bayang-bayang orang tua.
Awalnya memang terasa pahit. Biasa disuplai, tiba-tiba harus menyuplai. Biasa dilayani, tiba-tiba harus melayani. Biasa semua serba diurus, tiba-tiba harus menjadi pengurus. Biasa ada tempat untuk meminta, tiba-tiba harus pandai memberi. Semua ini memang terasa pahit, tapi untuk jangka panjang, akan ada perubahan baik untuk masing-masing pihak: baik si anak maupun orang tua.
Memang, ada karakter tersendiri dari orang tua yang punya anak sedikit dengan yang banyak. Orang tua dengan anak lebih dari tiga, akan dengan mudah melepas anak-anak mereka untuk mengarungi rumah tangga baru.
Tapi, tidak begitu dengan orang tua yang anaknya dua, apalagi satu. Rumah besar akan terasa sempit dan sepi ketika anaknya pisah untuk selamanya. Orang tua ini umumnya akan menggunakan berbagai cara untuk tetap bisa berpengaruh bagi anak-anaknya, meskipun sudah punya keluarga baru.
Sekali lagi, waktu dan kesabaran untuk konsisten dengan perubahan menjadi tolok ukur bagi pasangan muda untuk memasuki mahligai rumah tangga yang mandiri. Belajar untuk menjadi mandiri itu jauh lebih baik, meskipun jatuh bangun. Daripada, berada dalam kemapanan tapi dalam bayang-bayang pihak lain khususnya orang tua.
Namun begitu, jangan dipahami pisah dengan orang tua ini sebagai strategi perang antara kawan dan lawan. Melainkan, lebih pantas dianggap sebagai anak tangga yang harus ditinggalkan untuk menginjak anak tangga berikutnya.
Tetap saja, meski sudah punya keluarga baru, orang tua adalah ayah ibu kita yang sudah banyak berjasa. Karena itu, upaya pisah dengan mereka harus dilakukan dengan cara-cara yang baik: dibicarakan untuk mendapatkan saling pengertian, dan kemudian dilakukan dengan cara bertahap.
Inilah kerja paralel yang dilakukan pasangan baru. Di satu sisi, waktu memberikan ruang mereka untuk berubah menjadi sosok baru dalam keluarga baru. Dan di sisi lain, pelepasan dengan orang tua tidak boleh menjadi problem baru di masa peralihan.
Waktu adalah bagian dari perubahan. Tidak ada yang berubah instan kecuali yang buatan. Kalau ingin ada perubahan alami, kapasitas waktu pun harus tersedia banyak. Bersabarlah dan berakrab-akrablah dengan waktu. Yakini, kalau waktu akan membentuk hati. (Mh/bersambung)