ChanelMuslim.com- Ibarat malam, tetangga mungkin mirip dengan bulan. Tanpa bulan, malam terasa gelap. Tapi, bagaimana jika sang bulan tak bisa diam.
Tetangga merupakan keniscayaan dalam rumah tangga. Di mana pun kita tinggal, tetangga selalu ada di hampir semua sisi kehidupan rumah kita: kanan, kiri, depan, dan belakang.
Kadang tetangga datang di saat kita perlukan. Mereka menolong di saat kita butuh bantuan. Walaupun tidak sedikit dari tetangga yang justru menjadi beban. Terutama, beban perasaan.
Tetangga Culas
Seribu satu karakter bisa muncul dalam sosok tetangga. Bukan hanya yang buruk, yang baik pun banyak. Yang baik patut disyukuri. Dan yang buruk jangan dijauhi. Karena dari mereka kita sedang belajar bergaul dengan sabar.
Termasuk, terhadap tetangga yang culas. Dalam kamus bahasa Indonesia, culas memiliki banyak makna. Antara lain, curang dan tidak jujur. Tetangga seperti ini seolah menganggap bahwa kita saingannya. Kalau mereka tidak mampu mengalahkan, maka kita akan dijatuhkan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengalami hal ini. Sewaktu masih tinggal di Mekah, Rasulullah bertetangga dekat dengan Abu Lahab. Paman beliau sendiri. Bahkan, dua puteri Rasulullah menikah dengan dua putera Abu Lahab.
Ketika Nabi menjadi Rasul pada usia 40 tahun, mulailah ada perubahan dari tetangga dekat itu. Dua putera Abu Lahab menceraikan dua puteri Rasulullah, dengan cara yang menyakitkan. Diceraikan dan dihina di hadapan Nabi.
Istri Abu Lahab juga sengit memusuhi Nabi. Hampir setiap hari, ia sibuk menyebar duri-duri di depan rumah Nabi. Ia berharap tetangganya bisa merasakan tajamnya duri.
Bukan itu saja. Serangan terhadap rumah Nabi juga masuk ke area dapur. Kalau keluarga Nabi lengah, istri Abu Lahab menyusup masuk dapur rumah Nabi dan meletakkan kotoran di semua perabot yang ia temui.
Belum lagi fitnah, hinaan, dan sumpah serapah yang dialami Nabi melalui ulah Abu Lahab dan keluarga. Tapi, tak sedikit pun Nabi membalas dengan hal yang sama.
Tetangga kita tentu tidak seperti tetangga Nabi yang bernama Abu Lahab itu. Tidak seburuk dia. Dan tidak senekat dia.
Karena itu, belajar dari teladan Nabi, sepatutnya kita tidak membalas keburukan dengan keburukan. Atau, keculasan dengan keculasan. Meskipun kita mampu dan memungkinkan.
Boleh jadi, tetangga melakukan keculasan karena ia tidak pernah tahu tentang kebaikan. Ia lahir dan dibesarkan dari lingkungan keluarga yang culas. Ia tidak tahu betapa nikmatnya melakukan kebaikan terhadap tetangga. Saling berbalas kebaikan dan pertolongan.
Keburukan muncul dari seseorang mungkin bisa dari pernah sebagai korban. Ia seolah ingin membalas itu kepada semua tetangganya. Tak peduli apakah tetangga buruk atau baik.
Dua sebab atau latar belakang itu, tidak akan pernah terobati jika dengan pembalasan yang sama. Kalau ia tidak pernah mengalami nikmatnya berbaik hati dengan tetangga, itulah saatnya kita “tenggelamkan” dia dalam kebaikan. Biar dia merasakan, lebih enak jadi tetangga baik daripada culas.
Jadi, hadapi kenyataan buruk dari tetangga. Jangan lari, apalagi membalas hal yang sama. Di situlah kita belajar sabar bergaul dengan tetangga. [Mh/bersambung]