ChanelMuslim.com- Keluarga itu surga dunia. Surga itu taman, bukan perpustakaan, apalagi kuburan. Di mana, orang banyak berkumpul, tapi tak terdengar suaranya. Sepi dan khusyuk. Bayangkan jika surga seperti ini. Dan, bayangkan jika suasana rumah kita seperti perpustakaan atau kuburan.
Para aktivis, pria atau wanita, umumnya terbiasa dalam suasana tegang. Sedikit bicara, banyak berbuat. Dan sayangnya, suasana batin ini juga terbawa dalam dinamika komunikasi keluarga. Suasana komunikasi jadi seperti soal pilihan ganda, bukan esay. Kalau tidak a, ya b, c, atau d. Kalau tidak salah, ya berarti benar.
Nyaris tidak ada basa basi. Apalagi canda. Makhluk dalam keluarga jadi seperti kumpulan robot yang selalu bicara dalam format yang baku. Assalamu’alakum, aku pulang, Mi. Jawabnya, wa’alaikumussalam, alhamdulillah. Setelah itu, diam.
Atau, “Mau makan, Bi?” Jawabnya, “Ya”, atau “Nggak, masih kenyang.” Setelah itu, lagi-lagi diam. Sepi. Masing-masing tertunduk, hanyut dalam tampilan layar ponselnya.
Bayangkan jika pola komunikasi itu terjadi setiap hari. Terus berlanjut dalam setiap bulan, tahun, dan seterusnya. Ya Allah, betapa bosannya hidup seperti ini.
Para tetangga pun ikut dibawa khawatir dengan suasana rumah yang seperti ini. Ini rumah ada orangnya apa nggak. Kok, sepi amat.
Lebih parah lagi jika para pimpinan keluarga seperti suami dan istri mendasari komunikasi ala robot ini dengan dalil-dalil keislaman. Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berbicara yang benar atau diam.
Atau dengan pengamalan sebuah ayat Alquran, beruntunglah orang-orang beriman. Yaitu, orang-orang yang menghindarkan dirinya dari hal-hal yang tidak berguna. Termasuk dalam tafsiran hal-hal yang tidak berguna menurut suami istri ini adalah bercanda dalam keluarga. Benarkah?
Boleh jadi, sebagian kita memahami dalil-dalil seperti di atas tidak tepat pada posisi masalahnya. Rumah kita itu taman surga di mana anggotanya bisa nyantai, rileks, istirahat: lahir dan batin.
Sebuah kisah menarik diriwayatkan dari Imam An-Nasai mungkin bisa menjadi pertimbangan dari dalil yang kita pegang selama ini dalam keluarga. Khususnya, canda suami istri.
Aisyah r.a. mengisahkan bagaimana suasana hatinya saat bersama Rasulullah saw. Ketika itu, Nabi saw. sedang bersantai bersama Aisyah dan isteri keduanya saw. yang bernama Saudah. Seperti diketahui, Saudah adalah istri Nabi yang umurnya sudah di atas 60-an. Dan, Saudah sangat akrab dengan Aisyah.
Disebut bersantai, karena posisi duduk Nabi dalam suasana yang tidak biasa. Tidak seperti ketika bersama umat atau sahabat. Nabi saw. duduk di antara Saudah dan Aisyah. Satu paha nabi bersandar di paha Saudah. Dan satunya lagi bersandar di paha Aisyah.
Tiba-tiba, Aisyah beranjak dari duduknya untuk mengambil makanan sejenis campuran olahan tepung dan susu. Ia pun kembali menemui suaminya dan duduk seperti sebelum ia mengambil makanan di mangkuk itu.
Aisyah mengatakan, “Ayo makan, atau kulumuri makanan ini ke wajahmu.” Bagaimana reaksi Rasulullah dengan ucapan Aisyah yang seperti itu. Beliau mengatakan, “Aku nggak mau makan.” Sesaat kemudian, Aisyah pun menyendok makanan itu dengan tangannya dan melumuri makanan itu ke wajah Nabi saw.
Bagaimana reaksi nabi saw. dengan tingkah Aisyah itu? Ia tertawa. Kemudian Nabi saw. mengangkat pahanya dari paha Saudah untuk membalas apa yang dilakukan Aisyah terhadapnya.
Rasul mengatakan kepada Saudah, “Kotorilah mukanya!” Lalu, ia mengambil makanan itu dan melumurinya ke wajah Aisyah. Dan, Rasul pun tertawa bersama dua istrinya.
Silakan kita nilai sendiri, apakah Rasulullah saw. sudah melampaui larangan bercanda seperti yang kita pahami selama ini. Atau, apakah Nabi saw. sudah mencontohkan hal yang buruk untuk umatnya dalam membangun keharmonisan rumah tangga.
Pertanyaan berikutnya, siapa yang lebih mulia dari Rasulullah saw. di banding kita semua? Dan, siapa yang lebih paham tentang dalil-dalil yang kita dasari tadi daripada Nabi yang mulia ini.
Allah swt. berfirman, “Sungguh telah ada pada diri Rasulullah saw. teladan yang baik untuk kalian.” (QS. Al-Ahzab ayat 21)
Urgensi berikutnya, rumah mungkin satu-satunya tempat di muka bumi ini yang Allah halalkan hamba-Nya untuk membuka aurat, boleh dilihat suami atau istri, anak-anak, dan orang tua yang tinggal bersama.
Aurat, boleh jadi, juga apa yang ada dalam keaslian kita. Keaslian jati diri seorang anak manusia. Ingin menangis, tertawa, curhat, dan hal-hal lain yang tidak dilakukan di luar sana. Selama masih dalam batas aturan syariat yang dibenarkan.
Sesoleh apa pun, seserius bagaimana pun, manusia adalah manusia. Bukan malaikat yang tidak pernah tertawa. Tidak pernah menangis, dan selalu bertindak kaku sesuai instruksi baku.
Secara alami, manusia sebenarnya ingin menjadi dirinya apa adanya. Tidak ingin menunjukkan kekuatan dalam kenyataan kelemahannya. Tidak ingin menunjukkan kebahagiaan di balik kenyataan duka hatinya. Tidak ingin memperlihatkan kerajinan, ketekunan, dan lainnya; dalam kenyataan dirinya yang sebenarnya.
Di rumah, kita ingin melepas “topeng-topeng” yang biasa terpasang saat berada di luar sana. Suami ingin menjadi anak laki-laki dari seorang anak manusia. Dan istri juga ingin sebagai anak perempuan dari seorang ayah ibu yang juga manusia.
Yuk, jadikan rumah kita sebagai tempat yang mewadahi diri kita apa adanya. Tempat di mana kita berbagi cinta dengan pasangan dan anak-anak serta orang tua. Tempat yang benar-benar sebagai rumah kita, bukan perpustakaan apalagi kuburan. (Mh/bersambung)