oleh: Nuim Hidayat
ChanelMuslim.com – Buku yang ditulis Muhammad Kholid, guru pesantren at Taqwa Depok ini menarik. Buku ini membahas masalah-masalah kontemporer dengan jawaban Islam. Jarang ada buku semenarik ini yang ditulis oleh anak muda.
Kholid memulainya dengan membahas masalah epistemologi Islam, konfrontasi worldview. Ia uraikan dengan tajam berbagai pengaruh pemikiran-pemikiran Barat terhadap dunia Islam. Setelah itu, ia membahas tentang: Orientalisme Upaya Pemberadaban Timur?, Kebebasan Palsu Humanisme, Antara Rasionalitas dan Wahyu, Agama dan Sains Relasi dan Implikasi, Ihya Ulumiddin: Strategi Menghidupkan Ilmu Pengetahuan, Beradab Sejak dalam Fikiran.
Ia juga membahas berbagai masalah yang menimpa umat Islam, seperti: Sekulerisme-Pluralisme-Liberalisme, Feminisme dan Peradaban Islam. Dalam masalah Sepilis ia bahas: Sekulerisme dan Negara Turki, Sekulerisasi Sejarah, Pluralisme di Indonesia, Studi Islam di Barat, Benang Kusut Radikalisme dan lain-lain. Dalam masalah feminisme, ia kaji: Ideologi Feminisme Sejarah dan Konsep, Feminisme Barat dan Islam, Bahasa Arab dan Tuhan Maskulin, Tahlil dan Feminisme dan lain-lain. Dalam hal Peradaban Islam, ia membahas: Bahasa Arab dalam Sejarah dan Peradaban Dunia, Islam, Romawi dan Persia, Kitab Mafahim sebagai Obat Paham Ekstrem, Mengambil Hikmah dari Tahwilul Qiblah, Pemuda dan Budaya Ilmu dan lain-lain.
Menarik ketika Kholid membahas tentang worldview. Kata worldview berasal dari bahasa Jerman yaitu weltanshauung atau weltansichts. Welt bermakna dunia, dan Anschauung memiliki arti persepsi, rasa atau intuisi. Jadi bisa dikatakan bahwa weltanshauung adalah penggambaran intuisi seseorang tentang objek dunia yang dia amati. Kata weltanshauung mulai digunakan pada akhir abad ke-18 dan kemudian berkembang ke seluruh Eropa pada abad ke-19. Yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah Immanuel Kant (1724-1804) dalam karyanya Critique of Judgment (1790). Di dalam buku tersebut, Kant mengatakan ‘weltanshauung means simply the sense perception of the world’.
Meskipun Kant hanya menyebut sekali istilah ini dalam bukunya, namun para pemikir abad ke-19 menaruh perhatian yang serius tentang istilah ini. R. Jolivert (1891-1966) dalam karyanya Vocabularie de la Philosophie menerjemahkan kata weltanshauung dengan ‘a vision of the world’, ‘a general view of the world’, ‘a comprehensive point of the world’ dan ‘a practical attitude regarding the world’. Di Prancis ada tokoh Jean Grenier (1898-1971) yang juga menyebut worldview sebagai ‘a metaphysical view of the world regarding a conception of life’.
- Giusso yang menulis karyanya Enciclopedia Filosofica (1958) menyatakan bahwa worldview adalah ‘the term, difficult to translate in Italian, signifies a vision, intuition of (more appropriately) a conception of the world. James H. Olthius menyatakan bahwa suatu worldview merupakan refleksi paling baik dari jawaban seseorang tentang pertanyan-pertanyaan puncak kehidupan, seperti: siapa aku? Mengapa ada? Ke mana akan pergi? Bagaimana konsep semua itu? Apakah Tuhan ada? Bagaimana hidup menjadi bahagia? Apa itu kebaikan dan dosa (Lihat On Worldviews, hlm. 153-156).
Niniar Smart (1927-2001) mendefinisikan worldview sebagai keyakinan, kesadaran dan semua yang berasal dalam pemikiran manusia yang mendorongnya untuk melangsungkan aktivitas-aktivitas sosial dan moral, serta mengubahnya. Alparslan Acikgenc mendefinisikan worldview sebagai “vision of reality and truth, which, as an architectonic mental unity, acts as the noon-observable foundation of all human conduct, and as the general framework out of which follow scientific and technological activities. Alparslan juga mendefinisikan worldview Islam sebagai “the vision of reality and truth that appears before our mind’s eye revealing what existence is all about”.
Untuk memahami apa yang disebut dengan worldview, kita perlu memahami persepsi Kant sendiri mengenai realitas dan kebenaran. Filsafat Kant hadir sebagai sistensis atas polemik berkepanjangan antara filsuf yang berpaham rasionalisme dan empirisisme. Kant kemudian merumuskan pengetahuan pada tiga bentuk yaitu analitik apriori, sintetik aposteriori dan sintetik apriori. Kant juga menyatakan bahwa manusia hanya bisa menangkap fenomena saja, sedangkan yang nomena tidak mungkin, karena tidak bisa dibuktikan dan dicerna dengan tiga rumusan tersebut, termasuk di dalamnya, agama. Tidak aneh jika era pasca Kant, para pemikir dan ilmuwan Barat menyingkirkan agama dalam setiap kegiatan ilmiahnya. Sejak era Kant inilah abad pencerahan di Barat memuncak. Berbagai macam ilmu pengetahuan bermunculan sebagai antithesis atas pertentangan masyarakat Barat dengan pihak Gereja.
Kant yang masih membedakan antara fenomena dan nomena kemudian dikritik para filsuf lain. Karena Kant masih menyisakan sesuatu yang dianggap ‘supernatural’ dan cenderung ‘abstrak’, seperti agama. Salah satu perintis paham ateisme di abad modern, Ludwig Feurbach (1804-1872) menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Kesimpulannya menyatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia. Meskipun agama atau teologi menyangkal, tetapi pada hakikatnya, agamalah yang menyembah manusia (religion that worships man) dan agama adalah mimpi akal manusia (religion is the dream of human mind). Tokoh lainnya, Friedrich Nietzche (1844-1900), dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, menulis “God died, now we want the overman to live.” Tuhan dianggap khayalan dalam jiwa dan pikiran manusia. Agama hanya membuat sesaat lebih baik dan membiuskan (momentary amelioration and narcotizing). Agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Kata Nietzche, “Seseorang tidak dapat memercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat untuk meraih kebenaran di dalam hati dan kepada seseorang.”
Terpengaruh dengan karya Feubrach, Karl Marx mengatakan agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, ia menjadi candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. Sementara itu August Comte, bapak Ilmu Sosiologi, memandang agama sebagai bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis, yaitu fase teologis (fase fiktif), fase metafisik (fase abstrak), dan fase saintifik (fase positif). Sigmund Freud, seorang psikolog terkemuka, menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai dengan realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing ke arah ilmu pengetahuan. Selain itu, ada Herbert Spencer yang menyatakan bahwa agama bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.
Sebagai reaksi kepada filsafat Barat modern yang mengagungkan akal, muncul filsafat pascamodern yang menolak kemampuan akal untuk mengetahui kebenaran. Filsafat modern bukan saja mengumandangkan kematian Tuhan, tetapi sekaligus kematian manusia. Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty adalah tokoh paham skeptisisme kontemporer. Derrida mendekonstruksi logosentrisme (logocentrism) dan metafisika kehadiran (metaphysics of presence). Michel Foucault mempopulerkan gagasan kekuatan (power) dan geneologi (geneology) yang membentuk ideologi, epistemologi, diskursus, dan wacana yang merupakan aturan-aturan apriori yang membentuk pemikiran ataupun individu ataupun masyarakat. Foucault mengatakan “Human beings are trapped within language structures and knowledge regimes with no possibility of escape. Every human discourse is a power play, every sosial arrangement oppressice, and every cultural setting tyrannical.
Di satu sisi, ada yang menolak mentah-mentah atas agama. Di sisi lain, ada juga yang berusaha mencampuradukkan antara satu agama dengan agama yang lain. Paham ini disebut dengan pluralisme agama. Salah satu penggagasnya adalah Wilfred Cantwell Smith. Ia berpendapat bahwa agama pada umumnya, dan agama-agama besar khususnya telah mengalami proses reifikasi sejarah (historical process of reification). Oleh karenanya, ia kemudian menggagas apa yang disebut transcendent unity of religion. Bahwa semua agama sama pada tataran esoteriknya, dan berbeda hanya pada level eksoterik. Contoh-contoh mengenai bagaimana Barat memandang Tuhan di atas telah membuktikan bahwa ada problem pandangan-alam (worldview) pada peradaban Barat dalam melihat realitas dan kebenaran.
Menurut Kholid, tantangan terbesar umat Islam di era ini adalah tantangan ilmu pengetahuan yang disebut oleh al-Attas sebagai confusion of knowledge. Ilmu pengetahuan yang diproduksi oleh Barat ternyata tidak bebas nilai (value laden). Ia dipenuhi oleh asumsi-asumsi mendasar seperti liberalisme sekulerisme, rasionalisme, dualisme, nihilisme, relativisme dan lain sebagainya. Paham-paham ini pada dasarnya bertentangan secara diametral dengan pandangan-alam Islam (the worldview of Islam). Di sinilah letak relevansi memahami pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas, beliau menekankan pentingnya memahami dan mempelajari worldview Islam sebagai asas seorang muslim dalam melihat realitas dan kebenaran. Karena pada titik inilah kita bisa memperjelas (to clear) dan memilah (to distinct) mana yang bisa kita ambil dari Barat dan mana yang harus ditolak.
Dalam Kongres Pendidikan Islam di Mekah pada tahun 1977, Syed Muhammad Naquib al-Attas menyatakan bahwa problem internal umat Islam saat ini adalah loss of adab (kehilangan adab), confusion of knowledge (kerancuan pengetahuan), dan false leader (gagalnya pemimpin). Kerancuan berpikir yang ada dalam tubuh umat Islam diakibatkan oleh kerancuan ilmu yang datang dari Barat dan kemudian diserap oleh kalangan sarjanawan Islam. Al-Attas dalam bukunya Islam and Secularism menyatakan, “The confrontation between western culture and civilization and Islam, from the historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we must realize, then, that this confrontation is by nature a historically permanent one. Islam is seen by the West as posing a challenge to it’s very way of life.”
Tantangan pengetahuan yang dimaksud oleh al-Attas bukan bermakna sebagai lawan dari ketidaktahuan; tapi pengetahuan keliru yang dipahami dan disebarluaskan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Pengetahuan yang sifatnya problematis dan telah kehilangan tujuan sebenarnya, karena terkandung ketidakberadaban di dalamnya sehingga menyebabkan kekacauan dalam kehidupan manusia. Pengetahuan dari Barat yang tampak benar, tetapi faktanya berangkat dari kebingungan dan skeptisisme. Kemudian keraguan dan dugaan itu meningkat ke ranah metodologi ilmiah sehingga mereka menganggap keraguan sebagai alat epistemologi yang benar-benar valid dalam mengejar kebenaran.
Dr. Adian Husaini menyatakan bahwa Islamic Worldview bukanlah ajaran baru dalam Islam. Sebab, Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak awal. Islam tidak berkembang dalam sejarah. Konsep tajdid (pembaharuan) dalam Islam, bukanlah membuat-buat hal yang baru dalam Islam, tetapi merupakan upaya untuk mengembalikan kemurnian Islam. Ibarat cat mobil, warna Islam adalah abadi. Jika sudah mulai tertutup debu, maka tugas tajdid adalah mengkilapkan cat itu kembali sehingga bersinar cerah seperti asal mulanya. Bukan mengganti dengan warna baru yang berbeda dengan warna sebelumnya. Worldview Islam meskipun istilah yang baru, namun ia merujuk kepada hal yang tetap, pasti, dan tidak berubah-ubah sebagaimana dirumuskan para ulama terdahulu. Para ulama sekarang hanya mengintensifikasi dan menyistematisasikannya.
Konstruksi pandangan-alam Islam bisa dimulai dari hadits Jibril ketika mengajarkan Rasulullah akan hakikat Islam, Iman, dan Ihsan. Jibril mengajarkan sentralitas iman dalam rukun iman, bahwa iman-lah yang menentukan pengetahuan yang islami. Pengetahuan yang islami membuat muslim konsisten dengan sumber-sumber pengetahuan (epistemologi) Islam. Dengan pemahaman Islam dan Iman yang benar akan berdampak pada pengamalan ilmunya hingga pada tingkat yang tertinggi yaitu Ihsan. Pandangan-alam Islam berpijak dari ajaran yang harus dilakukan oleh masyarakat dalam hidupnya, dan umat berkewajiban untuk merubah kondisi yang munkar yang tidak sesuai dengan syariat.
Syed Muhammad Naquib al-Attas telah membuktikan bahwa pembahasan mengenai worlview Islam sudah lumrah di masa lalu, sebagaimana beliau tuliskan dalam tesisnya tentang sufi Aceh, Nuruddin ar-Raniri dan disertasi beliau tentang sufi Aceh lainnya, Hamzah Fansuri. Para ulama dahulu telah berhasil melakukan Islamisasi dengan memasukkan pandangan-alam Islam ke dalam alam pikiran masyarakat waktu itu. Konsep-konsep tentang Allah, Nabi, Wahyu, Adab, Adil dll juga telah mengganti konsep-konsep yang ada dalam paham animisme dinamisme. Pembahasan worldview Islam ini kemudian dicanggihkan oleh al-Attas dalam karya-karya lainnya dalam konteks untuk meneguhkan kembali pemahaman kita tentang Islam yang sebenarnya dan dalam konteks tantangan pemikiran kontemporer.
Bebebepa pemikir muslim lainnya juga memiliki istilah-istilah tersendiri. Abu A’la al-Maududi memiliki istilah Islami Nazariat. Buya Hamka memiliki buku berjudul ‘Pandangan Hidup Muslim. Istilah Islamic Way of Life juga sering dipergunakan para cendikiawan muslim. Semua istilah itu bertujuan untuk merujuk kepada pedoman-pedoman cara berfikir sebagai muslim dan bertindak secara kolektif sebagai gerakan. Sayyid Quthb menggunakan istilah tashawwur al-Islamy untuk merujuk kepada sekumpulan keyakinan mendasar dalam akal dan hati seorang Muslim, yang menjadi cara pandangnya dalam melihat keberadaan alam ini, keberadaan Allah yang menciptakan dan mengaturnya, serta hubungan antara keberadaan alam itu dengan Allah swt. (Lihat Muqawwimat as-Tashowwur al-Islamy, hlm. 41).
Sementara al-Attas, mendefinisikan Islamic Worldview dengan pandangan Islam mengenai hakikat dan kebenaran (ru’yatul Islam lil wujud). Al-Attas memilih kata ru’yat merujuk kepada hal yang pasti dan tetap, bukan nazrah yang cenderung kepada makna penalaran. Pemilihan kata wujud juga merujuk kepada seluruh realitas yang ada, baik itu fisik-metafisik, dunia-akherat, badan-jiwa dan lainnya. Islam tidak mengenal dualisme yaitu antara dua unsur saling bertentangan. Pandangan-alam yang tepat akan membentuk konsepsi intelektual seseorang tentang alam semesta, termasuk dirinya. Al-Attas tidak memakai kata kawn yang cenderung bermakna alam yang terbatas pada apa yang bisa diindera. Dengan kata lain, istilah nazratul Islam lil kawn tidak bisa meng-cover keseluruhan yang dimaksud oleh al-Attas sebagai worldview Islam.
Hal ini berbeda dengan worldview Barat yang hanya fokus kepada apa-apa yang bisa diakses oleh panca indera sehingga menafikan hal-hal yang metafisik, seperti teori evolusi Darwin yang dianggap sebagai fakta dan menjadi inspirasi paham materialisme Barat. Kita bisa menyimpulkan bahwa worldview Barat berangkat dari sesuatu yang spekulatif yang dirumuskan sendiri oleh manusia, sedangkan worldview Islam berangkat dari wahyu sebagai sesuatu yang tetap dan tidak berubah-ubah. Perbedaan lainnya adalah bahwa worldview Barat memiliki berbagai macam aliran dengan berbagai macam bentuknya. Sebagaimana kita ketahui pertentangan yang ekstrim antara kelompok yang berpaham rasionalisme dan kelompok lain yang berpaham empirisisme menunjukkan pluralitas worldview mereka. Perbedaan seperti ini tidak terjadi dalam worldview Islam yang meniscayakan kesatuan pemahaman, yang biasa disebut metode pengetahuan tauhidik.
Dengan melihat tantangan worldview Barat yang semakin mengakar di kalangan umat Islam, baiknya kita sebagai umat Islam melihat dan merenungkan kembali hakikat worldview (pandangan-alam) Islam. Sebagaimana dijelaskan oleh Isma’il al-‘Alam bahwa pengetahuan worldview Islam ini sangat penting, terutama bagi kita yang diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi ‘kalangan terpelajar’. Di satu sisi, kita menerima banyak informasi dan wawasan tentang segala sesuatu dari Peradaban Barat, bahkan sampai ke kurikulum kita, lalu kita mengiranya itu semua adalah ilmu dan bernilai ilmiah. Ketika keliru memahami realitas, kita sesungguhnya tidak sedang berkata tentang kebenaran, melainkan kepalsuan/kesesatan. Di sisi lain, kita sesama umat Islam berhadapan dengan perbedaan mazhab kalam, fiqh, bahkan ideologi dan orientasi politik, yang bahkan kerap berakhir dengan saling menyalahkan karena mengira pandangan kita, amaliah kita, bahkan politik kita, adalah yang paling benar dan mengantarkan pada keselamatan dunia dan akhirat. Worldview Islam memberikan kita pedoman tentang apa yang tetap dan berubah di dalam Islam sehingga kita tidak abai terhadap apa yang tetap itu karena terlalu menghabiskan waktu mengurusi yang berubah-ubah.[ind]