ADAB pembina dalam menasihati murid. Seorang pembina tidak hanya dituntut mampu menyampaikan ilmu atau wawasan kepada muridnya, namun hendaknya mampu pula untuk memberikan taujih (arahan) dan irsyad (bimbingan) dalam membantu muridnya mencapai indikator karakter mulia yang diharapkan.
Taujih dan irsyad sering dilakukan seorang pembina dalam bentuk nasihat kepada muridnya.
Mengapa nasihat itu penting? Karena kita sebagai manusia tidak ada yang luput dari kesalahan sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap manusia berbuat kesalahan dan sebaik-baiknya orang yang berbuat kesalahan adalah yang segera bertaubat. (Ibnu Majah)
Seorang pembina tentu sangat menginginkan kebaikan bagi muridnya sehingga ketika ada kesalahan yang dilakukan muridnya maka sang pembina akan berusaha memperbaikinya antara lain dalam bentuk memberikan nasihat.
Bahkan nasihat itu tidak harus diberikan ketika sang murid melakukan kesalahan, pada saat tidak melakukan kesalahan nasihat tetap penting diberikan sebagai peringatan agar tidak tergelincir.
Allah Subhanahu wa taala berfirman:
وَذَكِّرۡ فَإِنَّ ٱلذِّكۡرَىٰ تَنفَعُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
Teruslah memberi peringatan karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin. (Adz-Dzariyat: 55)
Namun keinginan baik pembina dalam memberikan nasihat perlu memperhatikan adab-adab agar nasihatnya dapat menyentuh akal dan hati sang murid.
Baca juga: Karakter Para Pembina Umat
Adab Pembina dalam Menasihati Murid
Berikut ini, beberapa adab yang perlu diperhatikan:
1. Ikhlashun Niyah (Niat yang Ikhlas)
Ikhlas merupakan asas dari suatu amal, begitu pula dalam memberi nasihat seorang pembina sangat harus menjaga keikhlasan.
Bukan saja karena keikhlasan akan menjadi sebab diterimanya suatu amal, namun nasihat yang disampaikan dengan keikhlasan akan berpengaruh kuat dalam penerimaan hati sang murid.
Hati bertemu hati, inilah pangkal dari nasihat yang dapat memberi kesan mendalam.
Dalam memberikan nasihat, seorang pembina harus menjaga hatinya agar tidak tercemari dengan perasaan seakan-akan dirinya lebih baik dari muridnya,
ini agar terhindar dari sikap sombong yang justru seringkali dapat merusak munakh tanashuh (suasana saling menasihati) yang menyebabkan murid tidak siap menerima nasihat bukan karena isi nasihatnya namun karena sikap pembina yang tidak berkenan di hati sang murid.
Seorang ulama dakwah berkata:
وليحذر الناصح أن يتغير قلبه على أخيه المنصوح بمقدار شعرة , وليحذر أن يشعر بانتقاصه , أو بتفضيل نفسه عليه.
Janganlah saudara yang memberi nasihat itu berubah hati walaupun sebesar kuman terhadap saudara yang dinasihatinya.
Janganlah sehingga dia merasakan saudaranya itu lebih rendah daripadanya atau dia merasakan dia lebih baik daripada saudaranya itu. (Risalah Dakwah)
Begitulah pentingnya keikhlasan hati seorang pembina dalam memberikan nasehat kepada muridnya agar nasehat tersebut masuk ke hatinya sehingga berdampak pada perubahan yang diharapkan.
2. An-Nashihah fiis Sirr (Memberikan nasihat secara rahasia tidak secara terbuka)
Interaksi tarbawi antara seorang pembina dengan muridnya dapat berlangsung kapan saja dan di mana saja, tidak dibatasi hanya pada pertemuan formal yang waktunya terbatas.
Karenanya, kesempatan seorang pembina untuk memberikan nasihat kepada muridnya dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan.
Nasihat yang diberikan hendaknya tidak dilakukan secara terbuka di depan umum namun dilakukan secara rahasia atau tertutup, tidak perlu diketahui oleh orang lain sehingga murid dapat menerima nasihat yang diberikan secara langsung.
Apabila nasihat diberikan secara terbuka dan diketahui oleh orang lain dikhawatirkan murid merasa harga dirinya direndahkan sehingga menyebabkan tertolaknya nasihat yang diberikan.
Imam Syafi’i berkata:
تعمدني بنصحك في انفرادي . وجنبْني النصيحة في الجماعهْ .فإن النصح بين الناس نوع. من التوبيخ لا أرضى استماعهْ . وإن خالفتني وعصيت قولي. فلا تجزعْ إذا لم تُعْطَ طاعهْ
“Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian. Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya.
Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku. Maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.” (Diwan Asy-Syafi’i)
3. Ahsanul Uslub (Gunakan Cara yang Terbaik)
Pembina yang baik dalam memberi nasihat perlu memperhatikan uslub atau cara yang terbaik sehingga nasihat dapat diterima murid.
Kadang suatu nasihat yang baik tetapi dilakukan dengan uslub yang kurang tepat maka mengakibatkan penolakan terhadap isi nasihat tersebut.
Ketika Nabi Musa alaihis salam dan Nabi Harun alaihis salam, diperintahkan Allah Subhanahu wa taala menghadap Fir’aun untuk memberikan nasihat kepadanya, maka Allah Subhanahu wa talaa perintahkan dengan menggunakan uslub yang tepat yaitu dengan cara lemah lembut sebagaimana firman-Nya:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
“Hendaknya kalian berdua ucapkan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan ia akan ingat atau takut kepada Allah” (QS. Thaha: 44).
Menghadapi Fir’aun yang sangat durhaka kepada Allah Subhanahu wa taala dengan uslub lemah lembut, maka menghadapi murid tentu seorang pembina harus berusaha bersikap lebih lemah lembut yang muncul dari sikap mahabbah fillah sehingga nasehat dapat diterima dengan lapang hati.
4. Ihtimam biz Zhuruf (Memperhatikan Kondisi)
Setiap orang tidak dapat lepas dari sikon (situasi dan kondisi) yang sedang dialami atau meliputinya bahkan bisa jadi sikon yang sedang dialami oleh seseorang itu sangat berpengaruh besar terhadap kesiapan menerima nasihat.
Saat murid sedang bersedih mungkin bukan saat yang tepat untuk memberikan nasihat kepadanya, begitu pula saat ia sedang marah maka akan sulit dapat menerima nasihat.
Karenanya, seorang pembina perlu memperhatikan sikon sang murid ketika hendak menyampaikan nasihatnya. Carilah sikon yang tepat agar nasihatnya dapat diterima.
Sahabat Umar bin Abu Salamah radhiyallahu anhu pernah dinasihati Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan nasihat tersebut sangat berkesan di hatinya, sebagaimana yang ia ceritakan:
كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ
Umar bin Abu Salamah radhiyallahu anhu berkata: Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah saw. tanganku bersileweran di nampan saat makan.
Maka Rasulullah bersabda: “Wahai Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu.” Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu. (Bukhari)
Nasihat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang adab-adab makan kepada sahabat Umar bin Abu Salamah radhiyallahu anhu pada saat beliau makan merupakan sikon yang tepat untuk memberi nasihat sehingga berdampak positif terhadap diri sahabat tersebut dengan ungkapannya:
“Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu.”
Wallahua’lam, semoga nasihat ini dapat menjadi masukan bagi setiap pembina untuk lebih baik lagi.[ind]