ChanelMuslim.com- Semua yang lajang tentu ingin segera menikah. Jika jodoh yang dinanti belum juga datang, puasa menjadi terapi yang paling baik.
Dalam sebuah hadis, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyerukan agar para lajang segera menikah. Jika belum mampu, maka berpuasalah. Karena puasa itu bisa menjadi benteng.
Hadis ini memang ditujukan kepada para syabab atau pemuda. Tapi, dalam hal jodoh, keadaan pemuda dan pemudi ada kesamaannya.
Baik pemuda maupun pemudi, dua-duanya memiliki syahwat atau cinta yang didorong dari hasrat biologis. Dan hasrat ini secara alami membutuhkan pemenuhannya.
Bayangkan jika jodoh belum juga bertemu, maka hasrat harus dikelola atau diarahkan dengan baik. Yaitu, dengan berpuasa.
Ada beberapa hikmah yang bisa diraih dari puasa. Pertama, puasa mendekatkan seseorang dengan Allah subhanahu wata’ala.
Puasa mengkondisikan seseorang untuk selalu meyakini bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada. Itu tercermin dari bagaimana ia mampu menahan diri untuk tidak makan, minum, dan lainnya. Meskipun tak seorang pun yang tahu apa yang ia lakukan ketika sendirian.
Orang yang dekat dengan Allah, merasakan bahwa Allah selalu tahu apa yang ia lakukan. Ruhaninya pun stabil. Ia tidak mudah kecewa. Tidak mudah putus asa. Karena yang Maha Sayang selalu bersamanya.
Kalau pun apa yang ia minta belum terkabulkan, ia tetap berbaik sangka. Bahwa, Allah senantiasa memberikan jalan yang terbaik.
Ia juga memahami bahwa hidup itu ujian. Termasuk tentang jodoh ini. Dengan puasa, ia akan terlatih untuk menjaga kesabaran. Meskipun rasanya tidak enak, ia akan tetap istiqamah dan berusaha dekat dengan Allah.
Kedua, puasa bisa mengurangi gejolak syahwat. Dengan latihan energi seadanya atau tidak berlebih, syahwat bisa dikendalikan dengan mudah.
Jadi, dengan puasa, bukan hanya jiwanya yang terlatih untuk stabil dan selalu dekat dengan Allah, fisiknya pun bisa diarahkan.
Para ulama mengibaratkan syahwat seperti anak kecil yang manja. Ia akan terus merengek agar bisa dipenuhi keinginannya. Sekali dipenuhi, ia akan meminta lagi dan lagi.
Puasa memaksa peluang untuk memenuhi tuntutan syahwat kian sempit. Gelora syahwat butuh energi. Ketika energi minim, gelora lebih mudah dikendalikan.
Ketiga, orang yang berpuasa akan merasa ‘sayang’ dengan puasanya. Ia tidak ingin lapar dan hausnya menjadi sia-sia karena melakukan hal yang membatalkan puasa.
Yang paling dominan dalam membatalkan puasa adalah nafsu dan syahwat. Antara lain, ingin dahaganya dipenuhi, laparnya disudahi, dan syahwatnya dipenuhi.
Di situlah pertarungan antara orang yang berpuasa dengan gejolak nafsu dan syahwat itu. Tentu saja, puasa selalu lebih unggul daripada nafsu dan syahwat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyebut bahwa puasa merupakan benteng. Benteng agar “serangan” nafsu dan syahwat bisa tetap dikendalikan. [Mh]