PADA Januari 2020, seorang remaja bunuh diri dengan melompat dari lantai 4 di sekolahnya sendiri. Tindakannya itu dilatari oleh bullying.
Kisah sedih kembali menerpa anak muda Indonesia. Bibit-bibit generasi masa depan bangsa hancur karena tekanan psikologis, diduga di-bully, lalu bunuh diri.
SN (14) melompat dari lantai 4 sekolahnya di bilangan Jakarta Timur pada Kamis (16/1/20) sekitar pukul 3 sore.
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, jika tiga dimensi yang mengelilingi seorang anak remaja, yaitu keluarga, sekolah, dan teman, tidak cukup menjadi penguat, keolengan pun terjadi.
Psikolog Hayati Rahmah mengatakan bahwa tekanan psikologis yang dialami remaja dapat membuat kondisi emosi lebih dominan ketimbang logika.
“Turut prihatin ya, ada kasus bunuh diri lagi. Kondisi keluarga, ortu bercerai dan ibu meninggal tentu bukan hal yang mudah untuk dilalui seorang remaja,” kata Rahmah, Psikolog yang berpraktik di Klinik Citta Buana, Cikeas, kepada ChanelMuslim.com.
Terlebih, lanjut Rahmah, jika ibu yang meninggal adalah sosok yang sangat berarti buat dia.
Baca Juga: Tren Bunuh Diri di Kalangan Anak dan Remaja
Remaja Bunuh Diri Bukti Tekanan Psikologis Membuat Emosi Lebih Dominan Daripada Logika
“Tekanan psikologis yang berat dan tidak tersalurkan dengan baik dan tepat, membuat kondisi emosi lebih dominan daripada logika sehingga ia kalut dengan situasinya,” tambahnya.
Seorang remaja sangat butuh pengakuan dan penerimaan sosial. Jika orang-orang di sekelilingnya tidak mengakuinya, bahkan menolaknya, akan membuat dirinya stres.
Stres semakin terakumulasi dengan pengalaman di-bully teman semakin membuat konsep diri dan self esteem menurun, semakin merasa diri tidak berharga.
“Kalau melihat dari cerita kasus tersebut, memang sepertinya sudah ada akumulasi tekanan/stres yang dialami. Jika ada pengalaman di-bully teman-teman, tentunya ini makin bikin anak stres,” lanjut Rahmah.
Rahmah menjelaskan, karena buat remaja, penerimaan sosial termasuk hal yang utama.
“Ketika dia di-bully, konsep diri dan self esteem semakin menurun. Semakin merasa diri tidak berharga,” tambah Rahmah.
Kembali ke Keluarga
Keluarga memiliki peranan penting dalam mengatasi kasus perundungan terhadap anak.
Keluarga semestinya lebih peka jika ada anak yang mengalami kondisi tidak menyenangkan misalnya orang tua bercerai atau ada anggota keluarga yang meninggal.
“Sebaiknya, keluarga perlu lebih peka jika anak-anak mengalami kondisi yang tidak menyenangkan, misal kasus ortu bercerai, atau anggota keluarga meninggal. Bantu anak merasa tetap positif dalam menghadapi situasi tersebut,” jelas Ibu dua anak itu.
Peran keluarga tidak dapat tergantikan oleh apapun. Jika orang tua tidak ada, anggota keluarga lain harus ada yang peduli dan mengambil peran sebagai pendamping anak.
Bagaimana pun, ungkap Rahmah, yang seharusnya berperan utama adalah keluarga. Mengenali kondisi anak dan perubahan-perubahan yang ia alami.
“Maka perlu ada anggota keluarga yang concern, jika orang tua belum bisa atau tidak bisa berperan dalam pendampingan anak,” tegas alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu.
Selain orang tua dan keluarga, guru di sekolah juga perlu memberi perhatian lebih kepada anak-anak yang dianggap memiliki kondisi khusus.
“Guru di sekolah juga perlu memberi perhatian lebih pada anak-anak yang dianggap punya kondisi khusus, misalnya orangtua baru bercerai, orang tua meninggal, atau kondisi anak yang tidak bergaul, selalu menyendiri dll,” jelas Rahmah.
Sebagai penutup, Rahmah mengatakan bahwa pada akhirnya, masa anak dan remaja idealnya dihabiskan bersama keluarga, berdiskusi, butuh untuk didengar, ditemani bermain, bukan hanya difasilitasi tapi orang tua sibuk sendiri.
“Perlu diajak diskusi, khususnya mendengarkan anak karena mungkin anak butuh difasilitasi untuk merasa ditemani,” katanya.
Kasus depresi pada anak cenderung meningkat di era millenial ini. Data WHO menyebutkan hingga tahun 2012, diketahui ada 9.106 orang di Indonesia yang meninggal dunia akibat bunuh diri.
Sebelumnya, pada periode 1990-2006, jumlahnya sebanyak 8.580 jiwa. Jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia, diprediksi merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Fenomena bunuh diri pada anak muda di Indonesia juga cenderung meningkat setiap tahunnya.
Bahkan, tingkat bunuh diri di kalangan anak muda usia 15-29 tahun menjadi penyebab kematian nomor dua terbesar, setelah kecelakaan.
Rahmah menyebut, banyak kasus anak yang depresi yang ditangani di kliniknya yang berawal dari anak yang kesepian padahal fasilitas lengkap disediakan orang tuanya.
“Banyak kasus anak depresi, merasa kesepian. Orangtua sekadar hadir, kasi fasilitas ini itu tapi tidak hadir secara hati,” tutupnya.
Kasus SN menjadi cerminan bagi keluarga Indonesia untuk kembali menyatukan hati dan peduli akan dunia remaja. Semoga tidak ada lagi SN-SN berikutnya. [ind]