BULLYING adalah aktifitas berbentuk agresi aatau tindakan kekerasan dengan tujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental yang dilakukan secara berulang ulang.
Perilaku bullying ini benar benar disadari oleh pelakunya. Mereka dengan sengaja melakukannya untuk melukai dan menanamkan ketakutan melalui ancaman dan menciptakan terror.
Menurut Elly Risman, Yayasan Buah Hati, bullying hanya terjadi bila ada 3 Peran dalam setiap kejadian. Peran tersebut adalah pelaku, korban dan penonton, kita sebut dengan PKP.
Pada umumnya banyak orang tua tidak langsung mengenali peran yang dilakukan oleh anak-anaknya. Bahkan ketika anak menjadi korban sekalipun ada orang tua yang baru menyadari anaknya jadi korban ketika kondisinya sudah sangat parah.
Apalagi jika anaknya hanya menjadi penonton yang tentunya sangat tidak mudah dikenali. Ini terjadi karena komunikasi dalam keluarga terhambat. Minimal tidak hangat dan tergesa gesa.
Baca Juga: Mahasiswa Komunikasi UMJ Gelar Kampanye Say No To Bullying
Mengapa Anak Kita Menjadi Pelaku Bullying?
Padahal jika masing-masing peran ini tidak diatasi akan ada efeknya bukan hanya sekarang tapi juga jangka panjang.
Pertumbuhan dan perkembangan kita sebagai anak manusia, kata ahli ditentukan oleh 20% faktor turunan dan 80% faktor Lingkungan. Jadi peran apapun anak kita, bisa saja karena faktor keturunan.
Namun yang lebih menentukan adalah yang 80% yang terdiri dari factor keluarga, media , peer group, sekolah, dan masyarakat.
Faktor Keluarga
1. Orangtua tidak siap menjadi orangtua, banyak masalah dari masa lalu sehingga dalam mengasuh tidak sengaja mengulang secara otomatis kebiasan dari pengasuhannya sendiri di waktu kecil. Pengasuhan yang dilakukan tanpa ilmu yang memadai dan jarang dilakukan berdua suami istri.
Umumnya anak disubkontrakkan ke tangan orang lain yang notabene kurang memadai dibandingkan dengan orangtuanya sendiri. Akibatnya sejak awal anak sudah memiliki berbagai bentuk kecemasan, kurang kelengketan, perhatian dan kasih sayang.
Semua tergesa gesa. Masalah tak sempat teruraikan dan tertangani dengan seksama. Dan tidak terasa anak sudah harus bersekolah .
2. Umumnya orangtua tidak sadar jika seharusnya mereka merumuskan dan menyepakati tujuan pengasuhan anak mereka sebagai penunjuk arah kemana anak ini akan dibawa dan anak yang bagaimana yang akan dihasilkan. Akibatnya mengasuh sebagaimana lingkungan terdekat mengasuh anak mereka.
Kita hanyut bersama arus yang deras. Orang lain memberi gadget pada anaknya, kita mengikuti trend itu. Pengasuhan yang tidak punya prinsip sama sekali.
3. Komunikasi buruk. Tergesa-gesa dan seadanya. Bagaimana bisa mengenali keunikan anak dan menyapanya. Orangtua tidak punya waktu untuk menyadari bahwa antara adik dan kakak saja berbeda.
Orangtua tidak peka terhadap bahasa tubuh yang ditunjukkan anak, tak sempat menebak dan mendengarkan perasaan mereka. Apalagi duduk membahasnya dengan dialog dari hati ke hati.
Orangtua terbiasa menggunakan 12 gaya populer orang tua bicara dengan anaknya, yaitu memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap, melabeli, mengancam, meremehkan, menasehati, membohongi, menghibur, mengeritik, menyindir dan, menganalisa. [May/Ln]