ChanelMuslim.com – Ada sekelompok laki-laki di Indonesia yang senang crossdressing atau memakai pakaian perempuan, khususnya hijab.
Crossdressing atau berlintas busana merupakan sebuah tindakan memakai busana atau aksesori dari gender yang berbeda. Crossdressing sudah dipraktikkan sejak lama oleh berbagai tradisi masyarakat di seluruh dunia, mulai dari Yunani, Norwegia, dan kelompok agama Hindu. Di Asia, tepatnya di Jepang, praktik berlintas busana ini ditemukan dalam teater cerita rakyat, seperti teater Kabuki.
Masyarakat Indonesia juga tidak asing dengan praktik ini, terutama dalam seni pertunjukan. Sampai sekarang pun masih dapat ditemui aktor atau pelawak laki-laki yang menggunakan baju atau aksesori perempuan saat pentas. Beberapa tahun terakhir, di tengah kepopuleran budaya pop Jepang, lintas busana ini menjadi tren di kalangan anak muda, disebut crossplay.
Kompleksitas gender dan seksualitas
Komunitas laki-laki crossdesser Indonesia dapat ditemukan di grup-grup chat pribadi seperti Telegram. Di Facebook, ada halaman “Crosshijaber & Crossdresser” yang telah di-like oleh lebih dari 1.300 orang. Di Instagram ada akun @cross.hijaber yang memiliki 1.109 pengikut.
Para crossdesser dan crosshijaber ini mengaku heteroseksual. Jika partner mereka mengetahui kebiasaan crosshijabernya, maka ini sebuah prestasi tertinggi. Ada juga yang mengeksplorasi seksualitas mereka dan berhubungan dengan laki-laki.
Secara umum, ada anggapan bahwa crossdressing ini adalah sebuah fetish atau fiksasi seksual terhadap suatu objek atau organ tubuh. Psikolog klinis dari klinik AngsaMerah, Inez Kristanti mengatakan bahwa crossdressing memang dapat menjadi sebuah fetish, namun crossdressing juga bisa menjadi awal dari eksplorasi identitas gender si individu.
“Identitas gender dengan ketertarikan seksual itu berbeda. Kalau dia berkeinginan menjadi perempuan, itu sudah masuk dalam ranah identitas gender. Sedangkan kalau fetish itu definisinya ketertarikan seksual pada benda-benda atau pun objek,” ujar Inez.
Fitrah seksualitas
Fenomena crosshijaber menjadi sebuah sinyal kurangnya pendidikan fitrah seksualitas. Fitrah seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang berfikir, merasa dan bersikap sesuai fitrahnya sebagai lelaki sejati atau sebagai perempuan sejati.
Pendidikan fitrah seksualitas berbeda dengan pendidikan seks. Pendidikan fitrah seksualitas dimulai sejak bayi lahir. Menumbuhkan fitrah ini banyak tergantung pada kehadiran dan kedekatan pada ayah dan ibu.
Menurut Elly Risman, riset banyak membuktikan bahwa anak anak yang tercerabut dari orangtuanya pada usia dini baik karena perang, bencana alam, perceraian, dan persoalan sosial lainnya akan banyak mengalami gangguan kejiwaan, sejak perasaan terasing (anxiety), perasaan kehilangan kelekatan atau attachment, sampai kepada depresi. Kelak ketika dewasa memiliki masalah sosial dan seksualitas seperti homoseksual, membenci perempuan, atau curiga pada hubungan dekat.
Dalam mendidik fitrah seksualitas, ayah bunda menghadapi beberapa tahapan sesuai usia anak.
1. Usia 0-2 tahun, anak lelaki dan perempuan didekatkan pada ibunya karena masa menyusui.
2. Usia 3 – 6 tahun, anak lelaki dan anak perempuan harus dekat dengan ayah ibunya agar memiliki keseimbangan emosional dan rasional apalagi anak sudah harus memastikan identitas seksualitasnya sejak usia 3 tahun.
Kedekatan dengan ayah bunda membuat anak mampu membedakan sosok lelaki dan perempuan. Sehingga mereka secara alamiah paham menempatkan dirinya sesuai seksualitasnya. Sikap mereka sesuai dengan jenis gendernya. Baik dari cara bicara, cara berpakaian maupun cara merasa, berfikir dan bertindak sebagai lelaki atau sebagai perempuan dengan jelas. Ego sentris mereka harus bertemu dengan identitas fitrah seksualitasnya, sehingga anak di usia 3 tahun dengan jelas mengatakan "saya perempuan" atau "saya lelaki".
3. Usia 7 – 10 tahun, anak lelaki lebih didekatkan kepada ayahnya. Anak lelaki sudah punya tanggungjawab moral, kemudian di saat yang sama ada perintah Sholat.
Ayah mempunyai tanggung jawab untuk menuntun anak lelakinya untuk memahami peran sosialnya, diantaranya adalah sholat berjamaah, berkomunikasi secara terbuka, bermain dan bercengkrama akrab dengan ayah. Semua ini sebagai pembelajaran untuk bersikap dan bersosial kelak, serta menghayati peran kelelakian dan peran keayahan di pentas sosial lainnya.
Maka menjadi tugas para ayah untuk menjadikan lisannya sebagai narasi kepemimpinan dan cinta. Menjadi tugas ayah untuk mendidik anak lelakinya terampil dalam urusan kelelakiannya dan keayahannya, Ayah harus jadi lelaki pertama yang dikenang anak anak lelakinya dalam peran seksualitas kelelakiannya. Ayah pula yang menjelaskan pada anak lelakinya tata cara mandi wajib dan konsekuensi memiliki sperma bagi seorang lelaki.
Begitupula anak perempuan didekatkan ke ibunya agar peran keperempuanan dan peran keibuannya bangkit. Maka wahai para ibu jadikanlah tangan anda sakti dalam merawat dan melayani, lalu jadikanlah kaki anda sakti dalam urusan keperempuanan dan keibuan.
Ibu juga harus jadi wanita pertama hebat yang dikenang anak anak perempuannya dalam peran seksualitas keperempuanannya. Ibu pula orang pertama yang harus menjelaskan makna konsekuensi adanya rahim dan telur yang siap dibuahi bagi anak perempuan.
Jika sosok ayah ibu tidak hadir pada tahap ini, maka potensi homoseksual dan kerentanan penyimpangan seksual semakin menguat.
4. Usia 10 – 14,. inilah tahap kritikal, usia dimana puncak fitrah seksualitas dimulai serius menuju peran untuk kedewasaan dan pernikahan.
Di tahap ini secara biologis, peran reproduksi dimunculkan oleh Allah SWT secara alamiah, anak lelaki mengalami mimpi basah dan anak perempuan mengalami menstruasi pada tahap ini. Secara syahwati, mereka sudah tertarik dengan lawan jenis.
Islam memerintahkan pemisahan kamar lelaki dan perempuan. Pada usia ini juga ada peringatan keras kepada anak saat ia lalai dalam shalatnya. Yang artinya mereka tidak mengenal Allah. Bahkan jika pada usia 10 tahun masih meninggalkan sholat ada hukuman untuk anak. Persiapan ini sesuai dengan fitrahnya karena inilah masa terberat dalam kehidupan anak, yaitu masa transisi anak menuju kedewasaan termasuk menuju peran lelaki dewasa dan keayahan bagi anak lelaki, dan peran perempuan dewasa dan keibuan bagi anak perempuan.
Maka dalam pendidikan fitrah seksualitas, di tahap usia 10-14 tahun, anak lelaki didekatkan ke ibu, dan anak perempuan didekatkan ke ayah.
Anak lelaki didekatkan ke ibu agar seorang lelaki yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis. Pada masa ini mereka harus memahami secara empati langsung dari sosok wanita terdekatnya, yaitu ibunya, bagaimana lawan jenisnya harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata perempuan bukan kacamata lelaki. Bagi anak lelaki, ibunya harus menjadi sosok wanita ideal pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya.
Anak lelaki yang tidak dekat dengan ibunya di tahap ini, tidak akan pernah memahami bagaimana memahami perasaan, fikiran dan penyikapan perempuan dan kelak juga istrinya. Tanpa ini, anak lelaki akan menjadi lelaki yg tdk dewasa, atau suami yang kasar, egois, atau kaku.
Pada tahap ini, anak perempuan didekatkan ke ayah agar seorang perempuan yang di masa balighnya sudah mengenal ketertarikan pada lawan jenis. Pada masa ini mereka juga harus memahami secara empati langsung dari sosok lelaki terdekatnya, yaitu ayahnya, bagaimana lelaki harus diperhatikan, dipahami dan diperlakukan dari kacamata lelaki bukan kacamata perempuan. Bagi anak perempuan, ayahnya harus menjadi sosok lelaki ideal pertama baginya sekaligus tempat curhat baginya. (Maya/referensi: Magdalene.co]