BOLEHKAH saya minta ibu peluk saya? Sering sekali di tahun-tahun terakhir ini, Psikolog Elly Risman berhadapan dengan ibu-ibu muda yang setelah bertanya tentang berbagai hal dalam ruangan seminar, kemudian mengikuti ke ruang shalat atau makan dan masih mengajukan beberapa pertanyaan.
Saat saya bersiap-siap mau meninggalkan gedung dimana seminar diselenggarakan, saya masih melihat ibu muda itu berdiri di satu sudut di arah jalan saya menuju kendaraan.
Pelan dia menghampiri saya dan kemudian berbisik perlahan :”Ibu bolehkah saya meminta ibu memeluk saya ?”…
Sedih merayap di hati saya dan segera saya menjawab sambil membuka kedua belah lengan saya selebar-lebarnya, sambil mengatakan: “Oh tentu.. sini, Nak!”
Biasanya mereka mendekap saya dengan erat dan umumnya mereka menangis ….Sayapun menangis-iba benar hati tua saya.
Banyak sekali peristiwa yang sama walau berbeda kisah tentu saja. Tapi yang paling menarik adalah apa yang terjadi di sebuah kota di Jawa Barat.
Saya belum pernah memberikan seminar di kota itu. Karenanya, panitia di tahap awal khawatir mereka tidak akan sanggup mencapai target jumlah peserta yang sudah mereka sepakati.
Ternyata di luar dugaan, peserta membludak sehingga harus menambah banyak kursi di belakang bahkan di samping kiri dan kanan ruangan.
Setelah seminar selesai, saya sedang menuju ke ruang makan yang berada di bangunan yang lain, ibu ketua panitia yang ternyata sudah pernah bekerja sama dengan saya sekitar 18 tahun yang lalu datang menghampiri saya dengan seorang ibu separuh baya yang bertubuh gempal.
Baca Juga: Pelukan Itu Menenangkan
Bolehkah Saya Minta Ibu Peluk Saya?
Ibu Ketua panitia ini setengah berbisik berkata kepada saya:
“Ibu saya sudah mengirim pesan pendek pada staf ibu mbak N, bahwa kalau sesudah seminar, ada seorang ibu yang datang dari jauh, ingin sekali dapat pelukan Ibu.
Saya terkejut dan membelalakkan mata saya sambil berkata :”Hah?” Tidak percaya bahwa pelukan sekarang pre order!
Sejak itu saya sering sekali berfikir:
“Ada apa ya? Mengapa semakin banyak saja, baik secara berani di hadapan banyak peserta seminar lainnya atau setengah sembunyi, menunggu orang mulai sepi, ibu-ibu muda ini membutuhkan pelukan saya?’ Gejala apa ini sebenarnya?
Suatu hari, saya dijemput dan diantar pulang oleh seorang mahasiswa S2 Jurusan PAUD dari sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Selama dalam perjalanan, kami membicarakan banyak sekali hal. Saya jadi mengetahui bahwa dia yang memprakarsai agar panitia mengundang saya.
Dari percakapan itu juga saya mengetahui bahwa dia pengantin baru yang menikah 10 hari yang lalu. Kesan yang saya tangkap dari percakapan kami: perempuan muda ini sangat cerdas, baik dan lapang hati, suka menolong!
Karena sudah hampir masuk waktu magrib, saya mengajaknya untuk singgah dan melaksanakan sholat magrib dahulu di sebuah mushalla kecil di pinggir jalan Jatiwaringin.
Biasa, setelah selesai sholat saya bersalaman dan tiba-tiba dia mengenggam erat tangan saya dan tidak mau melepaskannya.
Ditatapnya mata saya dan saya melihat air mata meliputi bola matanya yang indah. Dia berbisik perlahan: “Bu, bolehkah saya minta dipeluk sama ibu?”
Saya memeluknya dan menggoyang-goyangkan badannya seolah sedang mengayunnya dalam gendongan saya dan membisikkan kata-kata yang biasanya dulu didendangkan ibu saya
dan kemudian saya dendangkan saat mengayun-ayun anak dan keenam cucu saya ketika mereka kecil: “Laa ila ha ilallah, al Malikul Haqqul mubin. Muhammad Rasul Allah, Asshadiqul wa’dul Amin…
Setelah itu, sambil melepaskan pelukannya, dia menatap saya sendu:
“Saya nyaris tidak pernah dipeluk oleh ibu saya, Bu. Beliau Kepala sekolah TK dan SD di sebelah rumah kami. Dia sangat sibuk dengan anak-anak orang dan terburu-buru setiap hari.
Beliau suka lupa memeluk saya, Bu. Terakhir, saya baru merasakan kembali pelukan beliau saat saya menikah!”
Saya memeluknya sekali lagi dengan hati penuh iba…. Ooh, sayang…
Anda mungkin perlu bertanya pada diri sendiri, kapan terakhir kali Anda memeluk erat anak Anda?
Bila melihat ke dalam diri sendiri, Anda akan menggolongkan diri Anda dulunya sebagai anak yang bagaimanakah?
Yang cukup mendapatkan pelukan hangat dari kedua orang tua Anda, sesekali atau yang sangat jarang bahkan tidak pernah mendapat pelukan mereka?
Sekarang ini, karena hidup sangat tergesa-gesa, orang tua bicara dengan anak-anaknya sama tergesa-gesanya. Jarak terentang sehasta, sedepa atau mungkin tak bisa diukur dengan kilometer.
Kata-kata yang kadang keras dengan intonasi yang tinggi tak sadar menekan jiwa. Rambut disisir, baju dibenarkan letaknya, dasi dipasang tapi.. pelukan terlupakan.
Merasa cukup dengan cium tangan dan lambaian serta kata-kata nasihat rutin setiap pagi.
Pengasuhan ini dituruntemurunkan tidak sengaja. Semua perilaku yang kita terima direkam otak menjadi kebiasaan.
Bila situasi yang sama muncul, maka apa yang biasa kita terima itu yang kita lakukan . Yang tak pernah dipeluk, bagaimana bisa memeluk?
Seandainyalah Anda tahu bahwa pelukan itu menghangatkan dan mendamaikan jiwa, membangun perasaan positif, melengketkan hubungan orang tua anak yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata..
mungkin Anda segera memeluk anak anak Anda dan akan memberikannya sebanyak yang Anda bisa.
Peluklah anak Anda dengan cinta dan kasih sayang yang tulus.
Jangan sampai di kemudian hari, mereka bukan saja tidak mampu memeluk anaknya sendiri, cucu Anda – tapi mereka jadi menderita “lapar pelukan”, dengan memelas mengharapkan dipeluk ibu lain…
Bayangkan kalau anak Anda itu sekarang remaja… Dalam keadaan yang seperti sekarang ini, pelukan siapakah gerangan yang menentramkan jiwanya?[ind]
Dalam pesawat Malindo, menuju Jakarta, 29 Februari 2016.