ChanelMuslim.com – Kelurahan Balaroa berada di Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Di sana didirikan perumahan pertama yang dibangun pada dekade 1980-an.
Pada jumat (28/9) petang lalu gempa 7,4 magnitudo mengguncang Palu dan Donggala. Gempa besar yang berpusat di dekat Donggala, mengakibatkan pesisir barat Sulawesi Tengah termasuk Kota Palu dan Donggala dihantam gelombang tsunami setinggi dua hingga empat meter, delapan menit setelah gempa.
Meski tidak terdampak tsunami, hampir seluruh wilayah Kelurahan Balaroa, termasuk Perumnas Balaroa, terkubur oleh tanah yang mengalami likuifaksi atau ambles dan terkubur akibat gempa besar yang terjadi. Seketika tak sedikit jiwa turut terkubur oleh tanah bersama rumah dan harta benda mereka. Bagi mereka yang selamat harus rela kehilangan harta benda, anggota keluarga, teman, dan sahabat.
Seperti apa yang dialami oleh Eka Putra Idris. Dalam akun facebooknya, Eka bercerita tentang apa yang dialaminya dan keluarga besar selama gempa terjadi.
Saat itu, Jumat, (28/9/18) sekitar pukul 5 sore, saya, mama Cahaya Nasri dan istri Rizka Zakiah Drajat pulang dari TK Islam Khalifah Palu. Sebelum sampai dirumah, kami menjemput bayi kami Cendekia (usia 9 Bln) yang dititipkan di Daycare Cahaya Khalifah
Karena agak telat menjemput, Mama dan istri menyarankan untuk memberi hadiah sebagai rasa terima kasih kepada bunda guru yg sudah menjaga Cendekia dg waktu ekstra.
Sekitar pukul 5.45 sore, mama turun ke rumah kami di Perumnas Balaroa. Saya bersama istri dan bayi kami melanjutkan perjalanan menuju Palu Grand Mall (PGM) untuk mencari bahan baku hadiah untuk bunda guru.
Karena sudah hampir memasuki waktu sholat maghrib, kami mampir di masjid depan PGM (di samping Kaledo Stereo) untuk shalat.
Belum sempat adzan maghrib berkumandang, bumi sudah berguncang dengan dahsyat. Beberapa mobil di belakang kami berhenti dan penumpangnya turun ke tengah jalan. Para pengendara motor di depan banyak berjatuhan karena kondisi aspal yg rusak terbelah. Teriakan orang-orang terdengar jelas dari kejahuan. Saya berusaha membuat tenang istri yg terus berdoa yg juga panik ketakutan. Bibir dan wajahnya putih pucat. Para karyawan dan pelanggan mal lari ke arah kami sambil berteriak “Air..air..air”. Kami memutuskan untuk pulang. PGM hanya berjarak 20 meter dari bibir pantai.
Baru berjalan kurang dari 5 menit, dari arah depan air terlihat jelas menuju mobil. Istri saya berteriak sejadi-jadinya. Saya hanya bisa berdoa sambil tetap berusaha menenangkan. Mobil kami terseret derasnya air sekitar 15 meter ke belakang masjid. Ada beberapa pengendara yang juga ikut terseret bersama kami. Begitu air agak surut saya memutuskan untuk keluar dari mobil. Air masuk melalui sela-sela pintu mobil.
Saya menggendong bayi semantara istri mengikuti dari belakang. Kami berjalan mencari tempat yang lebih aman. Saat itu air sudah sampai kurang lebih selutut. Belum lama kami berjalan, gemuruh terdengar keras. Gelombang yang jauh lebih besar, lebih tinggi datang ke arah kami. Kali ini kayu, sampah dan pepohonan kecil ikut terseret bersama derasnya gelombang. Sambil terus berdoa, saya mengatakan agar tetap tenang kepada istri. Gelombang yang membawa banyak material akhirnya dengan cepat menghantam kami. Istri yang memeluk daya dari belakang terlepas dan kami terpisah. Bayi kami terombang-ambing di bawah kayu-kayu yang tergulung air. Untungnya saya menggenggam dengan erat kaki bayi kami. Begitu ada kesempatan saya mengangkatnya dari dalam air dan mendudukkannya di atas kayu-kayu sebagai pelampung. Saya ingat betul wajah bayi ajaib ini yang tetap tenang dan tidak menangis sama sekali. Mungkin karena dia senang berenang dan main air. Kayu yang menyeret kami berhenti setelah bertabrakan dengan pohon lain di belakang. Sempat terjepit, namun segera saya memanjat dan kami lolos dari maut. Laa Hawla Wala Kuuwwata Illa Billah. Tidak ada daya dan upaya kecuali datangnya dari Allah.
Dengan kondisi gelap saya kurang jelas melihat sekitar karena kacamata ikut hilang terhempas. Saya berjalan dalam kegelapan menuju bayang-bayang rumah yg tidak rusak. Pikir saya saat itu atap rumah adalah tempat tinggi yang agak aman. Sambil menggendong bayi di tangan kiri, tangan kanan saya berusaha mengangkat papan dan kayu untuk di sandarkan di dinding yang saya manfaatkan sebagai jalan menuju atap. Namun usaha sy tidak berhasil. Setiap kali menaiki papan dan kayu tersebut, saya jatuh berkali-kali karana kondisi papan yang licin dan tidak seimbang. Saya mencari jalan lain. Akhirnya ketemu dengan gerobak yang tepat dibawah atap. Saya naik melalui gerobak itu dan dgn cepat berada di atas atap.
Merasa agak aman, saya terus berteriak mencari istri dari atas atap. Berkali-kali memanggil namanya dengan keras, namun tidak ada balasan. Cendekia sudah menggigil kedinginan karena angin yang berhembus. Saya membuka baju membungkusnya dengan harapan dapat memberi kehangatan. Saya memutuskan untuk menunggu hingga terang. Karena tidak ada lagi cara lain selain tenang. Dari atas atap kecemasan masih belum berakhir, dalam satu jam menunggu sempat terjadi 2 kali guncangan yg membuat saya selalu waspada. Saya berdoa Laa Ilaha Illallah Laa Wahdahula Syarikalah Lahulmulk Walahul Hamdu Yuhyi Wa Yumitu Wahuwa Ala Kulli SyainKadiir. Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Setelah sejam berada di atas atap saya melihat dengan samar ada orang-orang berjalan membawa senter. Dengan penuh harap saya berteriak memanggil mereka. Ternyata ada dua org bapak dan ibu yg sedang mencari jalan. Mereka sempat naik melihat kondisi kami. Namun hanya menyarankan untuk segera meninggalkan atap dan mencari tempat yang lebih aman. Lalu mereka pergi di ujung gelap.
Saya kembali menunggu dan berdoa. Kembali ada cahaya senter yang terlihat menuju arah kami. Kali ini saya tidak melewatkan kesempatan untuk meminta bantuan. Begitu orang tersebut berada tepat di bawah kami, saya segera berjalan turun. Belum sempat sampai di ujung atap seng, saya bersama bayi terjatuh dari ketinggian hampir 2 meter. Kepala Cendekia sempat membentur kepala saya. Namun sekali lagi, bayi ajaib ini bergeming. Hanya matanya sayu tanda mengantuk. Wajahnya tetap tenang seperti menguatkan saya untuk tetap berpikir jernih.
Akhirnya kami bertiga menyusuri jalanan rawa dan sungai kecil mengandalkan lampu dari ponsel pintar bapak penolong ini. Sekitar 10 menit berjalan saya menyarankan untuk putar arah krn tidak ada tanda-tanda jalan keluar. Hampir setengah jam berjalan, saya tidal henti-hentinya membaca ayat kursi dengan harapan Allah melapangkan segala urusan. Sesekali saya berteriak memanggil bunda Cendekia. Di tengah kepasrahan melepas istri yang entah kemana, akhirnya saya mendengar dengan samar dia berteriak memanggil kami. Alhamdulillah istri selamat sedang bersama seorang ibu yang shock.. Mereka berlindung di pondok yang reot. Saat bertemu kami berpelukan dan bersyukur lolos dari maut. Istri menyempatkan untuk menyusui bayi kami, kembali melanjutkan perjalanan menuju lampu di ujung pandangan. Berharap ada jalan menuju tempat aman.
Kami sampai di sebuah gudang dua lantai. Gudang iti sudah dipenuhi korban selamat yang berharap mendapat bantuan di sana. Karena tidak ada tanda-tanda datangnya bantuan, saya berinisiatif meninggalkan gudang tersebut dan kembali melanjutkan perjalanan.
Kami menyusuri jalanan aspal gelap ysng sudah rusak akibat gempa. Perjalanan terasa mencekam karena tiang-tiang listrik berjatuhan di jalanan. Air yang menggenangi jalan membuat kaki kami yg telanjang sering menginjak paku dan batu- batu bekas bangunan yang roboh. Di ujung jalan kami bertemu pengendara motor yang mencari makanan ke arah mal. Ternyata orang ini adalah teman sy. Alhamdulilla kami diantar pulang ke rumah.
Belum sampai rumah, kami berhenti akibat sesaknya jalanan yang dipenuhi kendaraan dan orang-orang yang mencari tempat aman. Kami turun dari motor dan kembali berjalan kaki. Kami berjalan sekitar 10 menit kemudian sampai di rumah adik bapak saya, om Mahyudin YCeight, yang rumahnya tepat berada di samping SDi Khalifah Palu.
Rumahnya menjadi tempat keluarga yang mengungsi karena lokasinya berada d ketinggian. Kami disambut keluarga yang khawatir melihat kondisi kami. Mereka segera mengurus Cendekia yang sudah tertidur pulas. Saya dan istri membersihkan diri lalu mengganti sholat maghrib kemudian dilanjutkan dengan sholat Isya. Tidak henti-hentinya saya dan istri mengucap syukur. Kami tidak percaya bisa selamat. Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam.
Saudara-saudara mencari informasi ke Perumnas Balaroa. Jarak tempuh hanya 5 menit dengan sepeda motor. Tidak lama kemudian, mereka kembali dengan tangisan. Perumnas sudah rata dengan tanah. Ya Allah, belum selesai cobaan ini.
Istri saya kembali shock Semua keluarga yang mendengar kabar itu menangis berharap tdk terjadi apa-apa.
Saya menenangkan diri. Kemudian saya dan 4 orang kerabat pergi ke perumnas Belaroa. Orang-orang sudah menutup jalan tanda karena tidak bisa lewat. Jalanan terputus. Kami putar arah, mencari jalan alternatif lain. Namun semua akses jalan masuk ke Perumnas Balaroa sudah tidak ada lagi. Kami memutuskan untuk memarkir sepeda motor dan berjalan kaki mencari rumah saya.
Keadaan gelap gulita. Tanah sudah berubah menjadi lumpur. Kaki kami sering kali masuk ke lumpur yang dalamnya bisa sampai sepaha orang dewasa. Tidak jarang saya terjebak masuk ke dalam lumpur kemudian ditarik lagi oleh 2 saudara saya. Jeritan kesakitan orang-orang di sekililingi kami terus terdengar. Orang-orang pun banyak yang seperti kami, mencari kerabat di antara puing-puing bangunan dan pohon-pohon yang tumbang. Kami juga melihat ada 4 titik api di kejauhan.
Kam kebingungan, kemana sebenarnya arah rumah kami. arah. Setelah satu jam saya bertemu adik bapak yang lain om Sarjono Tahir yg sedang menjaga istrinya Santi Anasusanti Adama yang tertidur kesakitan dijalan. Dia tidak bisa begerak. Paha kirinya robek akibat tertimpa beton. Tidak lama kemudian Alhamdulillah saya bertemu bapak saya, Idris Tahir yang masih hidup. Bersarung dan kemeja lengkap dengan kopiah di kepala. Saat gempa terjadi dia baru akan ke masjid.
Kami melanjutkan pencarian bersama bapak. Berteriak memanggil nama keluarga. Tidak ada balasan. Sampai akhirnya Muhammad Yasser, suami adik saya Rezky Dwi Putri menjawab. Saat kami mendekat, posisinya terjebak di reruntuhan. Badannya terjepit beton. Belakangnya tertindih dinding dan depan perutnya terhimpit dinding yang lain. Posisinya saat itu sedang berpelukan dengan adik saya. Yang kelihatan oleh kami hanya tangan kanannya yang sudah pucat.
Yasser mengatakan adik saya, Kiki sudah tidak bernyawa. Hati saya teriris. Bapak menangis. Tetapi kami harus terus kuat mengevakuasi karena anak mereka Syaza (usia 15bln) masih dlm keadaan hidup namun terjebak di depan perut ibunya yang sedang hamil 9 bulan di bawah reruntuhan. Syaza tidak kelihatan, suara tangisannya yang makin memotivasi kami untuk mengeluarkannya dari puing-puing bangunan.
Setelah berusaha dengan keras, Syaza dapat diselamatkan. Keesokan harinya, 29 Sept 2018 sekitar jam 9 pagi Yasser berhasil dievakuasi keluar dar lokasi setelah sebelumnya 3 jam diangkat oleh 6 org yg membantu. Dia tdk bisa berjalan. Diduga tulang pinggulnya patah. Kemudian kami bawa langsung kerumah sakit untuk penangan medis lebih lanjut.
Mama berhasil ditemukan namun sudah tidak bernyawa. Dua adik mama mengevakuasi dan menjaga mayatnya di pos ronda. .
Saat hendak menguburkan mama dan Kiki, kami tidak dapat menukangi kain kafan. Tukang gali kubur pun tidakada. Jenazah mama dan Kiki, kami bawa ke masjid yang menyediakan perlengkapan penguburan secara lengkap.
Kiki masih menggunakan mukenah hendak sholat maghrib. Mama meninggal dalam keadaan wudhu dan ditemukan dekat Mushollah kami dirumah. Insya Allah keduanya husnul khatimah
Mama dan Kiki dikuburkan tanggal 29 Sept 2018 sekitar jam 8 malam setelah Isya di pekuburan Islam tanah wakaf kakek kami di Pengawu. Sepertinya keduanya adalah oranb perumnas pertama yang dikuburkan. Yang membuat kami ikhlas dan tenang adalah mayat keduanya dimandikan,disholatkan dan dikuburkan sesuai syariat. Subhanallah. Alhamdulillah. Allahuakbar. (MAY)