BUNUH diri tak hanya menjadi fenomena di kalangan anak dan remaja Indonesia tapi juga sudah jadi masalah global. Organisasi seperti International Association of Suicide Prevention (IASP) hadir dan fokus pada pencegahan bunuh diri,
tapi bunuh diri tetap saja terjadi seperti yang baru-baru ini kejadian di sebuah sekolah di bilangan Jakarta Timur.
Apa yang terjadi di Indonesia juga bagian dari masalah yang dihadapi oleh banyak negara di dunia.
Berdasarkan data yang dikeluarkan World Health Organization (WHO) pada 2012, sebanyak 804.000 kematian di dunia disebabkan oleh bunuh diri setiap tahunnya.
Secara global, tingkat rasio bunuh diri adalah 11,4 orang per 100.000 penduduk.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Chris Girard “Age, Gender, and Suicide: A Cross-National Analysis” pada 1993, bunuh diri pada perempuan disebabkan karena kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, tekanan sosial, dan kesulitan ekonomi.
Sedangkan pada laki-laki diakibatkan oleh ketidakmampuan memenuhi peran-peran sosial yang secara tradisional dibebankan pada laki-laki seperti peran sebagai kepala keluarga.
Keduanya memiliki persoalan serupa, lantaran dipicu oleh gejala depresi.
Baca Juga: Status Wafat Bunuh Diri dalam Pandangan Syariah
Tren Bunuh Diri di Kalangan Anak dan Remaja
Pada titik tertentu, depresi dapat berujung pada bunuh diri. Data yang dikeluarkan oleh WHO pada 2012 memperkirakan terdapat 350 juta orang mengalami depresi, baik ringan maupun berat.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia pada 2013, menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional –yang ditunjukkan dengan gejala depresi dan kecemasan– adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang.
Bagaimana dengan anak dan remaja? Apa yang membuat anak dan remaja menjadi depresi dan kemudian bunuh diri?
Laporan Kementerian Pendidikan Jepang mengungkap dalam kurun waktu 2016 sampai 2017, sebanyak 250 anak dan remaja yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri alias bunuh diri.
Jumlahnya mengalami peningkatan sebanyak lima anak dari tahun sebelumnya.
Anak dan remaja yang bunuh diri ini tersebar dari tingkat Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Masing-masing enam dari tingkat SD, 84 dari SMP dan 160 dari SMA. Di Jepang, siswa SMA biasanya lulus sekolah di usia 18 tahun.
Dilansir dari NHK, alasan bunuh diri tersebut beragam. Sebagian besar (140 kasus) tak diketahui.
Ada pula yang khawatir akan masa depan setelah lulus sekolah (33 kasus), masalah keluarga (31 kasus), perundungan (bullying) (10 kasus).
Sisanya, ada yang memilih alasan lebih dari satu alias kombinasi dari beberapa kasus yang disebutkan tadi.
Bunuh diri di kalangan anak-anak Jepang sebenarnya bukan hal baru.
Namun, depresi dan gangguan mental yang dialami anak sebelum memutuskan bunuh diri masih belum menjadi topik yang bisa didiskusikan secara terbuka.
Akibatnya, anak dan remaja yang tertekan sulit mendapatkan pertolongan.
Kepada New York Times, Vickie Skorji, direktur hotline krisis di TELL, sebuah layanan konseling di Tokyo menyatakan bahwa pengidap gangguan kejiwaan di Jepang masih mendapat stigma buruk.
“Kemungkinan besar Anda akan dirisak serta tak mendapatkan layanan dan dukungan dari orangtua Anda.”
Bagaimana dengan di Indonesia? Indonesia punya statistik 3,4 kematian akibat bunuh diri per 100.000 orang. Dibandingkan dengan Asia maupun dunia, Indonesia memang masih tergolong rendah.
Namun, data WHO 2012 juga mencatat Indonesia sebagai satu-satunya negara ASEAN dengan korban bunuh diri perempuan tertinggi.
Menurut laporan WHO, korban bunuh diri laki-laki sebesar 3,7 orang per 100.000 penduduk dan perempuan 4,9 orang per 100.000 penduduk.
Disclaimer
Depresi bukanlah persoalan sepele. Jika kamu merasakan tendensi untuk melakukan bunuh diri, atau melihat teman atau kerabat yang memperlihatkan tendensi tersebut,
amat disarankan untuk menghubungi dan berdiskusi dengan pihak terkait, seperti psikolog, psikiater, maupun klinik kesehatan jiwa.
Berita atau artikel ini tidak bertujuan menginspirasi tindakan bunuh diri.
Pembaca yang merasa memerlukan layanan konsultasi masalah kejiwaan, terlebih pernah terbersit keinginan melakukan percobaan bunuh diri, jangan ragu bercerita, konsultasi atau memeriksakan diri ke psikiater di rumah sakit yang memiliki fasilitas layanan kesehatan jiwa.
Berbagai saluran telah tersedia bagi pembaca untuk menghindari tindakan bunuh diri, satu di antaranya adalah menghubungi kesehatan jiwa di rumah sakit terdekat.[MY/Sumber: Tirto.id]