ChanelMuslim.com – Para pemimpin Mesir, Yordania dan Otoritas Palestina menolak tindakan ilegal Israel mengubah status quo yang merusak solusi dua negara, perluasan pemukiman Yahudi yang berkelanjutan di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, perampasan tanah, pembongkaran rumah dan upaya untuk mengubah status quo di Yerusalem Timur.
Baca juga: Presiden Palestina Peringatkan Israel Tak Ubah Status Quo Masjid Al-Aqsha
Sebuah pernyataan bersama yang dikeluarkan pada akhir pertemuan puncak yang mempertemukan Presiden Mesir Abdel Fattah Al-Sisi, Raja Abdullah II dari Yordania dan Presiden PA Mahmoud Abbas di Kairo menekankan pada pentingnya “pertahanan historis Hashemite atas tempat-tempat suci Islam dan Kristen. di Yerusalem, perannya dalam melindungi tempat-tempat suci ini, serta identitas Arab, Islam, dan Kristennya”.
“KTT itu menekankan perlunya mencegah pemindahan warga Palestina dari lingkungan Yerusalem, terutama Sheikh Jarrah dan Silwan, dan untuk menghentikan semua tindakan sepihak yang merusak upaya perdamaian, dan solusi dua negara sesuai dengan legitimasi internasional,” kata pernyataan tersebut.
Al-Sisi dan Raja Abdullah II menegaskan dukungan tegas negaranya untuk rakyat Palestina dan hak-hak mereka yang adil dan sah, memiliki negara merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Ketiga pemimpin tersebut menegaskan bahwa perdamaian yang adil, menyeluruh dan abadi merupakan pilihan strategis dan kebutuhan bagi perdamaian regional dan internasional.
Status Quo adalah sebuah kepentingan dari sejumlah komunitas agama terhadap sembilan situs keagamaan di Yerusalem dan Betlehem. Tempat-tempat suci lain di Israel dan Palestina tak dijadikan subyek Status Quo karena otoritas satu agama atau satu komunitas dalam sebuah agama diakui atau berlaku.
Status quo tersebut timbul dari sebuah firman (dekrit) sultan Utsmaniyah Osman III pada 1757 yang mengatur hak kepemilikan dan tanggung jawab berbagai tempat suci Kristen. Firman-firman tambahan yang dikeluarkan pada 1852 dan 1853 mendorong agar tak ada perubahan yang dilakukan tanpa kesepakatan dari seluruh enam komunitas Kristen.[Pemberlakuan sebenarnya dari Status Quo tak pernah resmi diberlakukan, namun ringkasan tahun 1929 yang dicetuskan oleh L. G. A. Cust, The Status Quo in the Holy Places, menjadi teks standar terhadap persoalan tersebut.[ah/memo]