SEORANG direktur eksekutif dewan Urusan Publik Muslim Kanada dan mantan Menteri Luar Negeri Kepresidenan Mesir, Khaled Alqazzaz menuliskan pandangannya mengenai protes mahasiswa terhadap penjajahan yang terjadi di Gaza.
Sebagai alumnus Universitas Toronto, saya baru-baru ini bergabung dengan perkemahan mahasiswa untuk mendukung tuntutan mereka agar sekolah tersebut mengungkapkan kepemilikan keuangannya, memutuskan hubungan dengan universitas-universitas Israel, dan melakukan divestasi dari investasi yang terkait dengan apartheid, pendudukan, dan pemukiman ilegal.
Menjelang protes tersebut, saya teringat akan 18 hari yang saya habiskan di perkemahan tahun 2011 di Lapangan Tahrir Mesir, yang akhirnya menyebabkan jatuhnya Presiden Hosni Mubarak.
Saya melihat naik turunnya revolusi Mesir, mulai dari pemberontakan tanggal 25 Januari hingga kudeta tanggal 3 Juli.
Melihat siswa-siswa ini, dan banyak siswa seperti mereka di seluruh Amerika Utara, menimbulkan perasaan deja vu yang kuat.
Seperti yang dikatakan dengan tepat oleh salah satu pengguna X (sebelumnya Twitter):
Protes tidak menghasilkan apa-apa dan kita harus menekan semua protes dengan kekerasan. Pada dasarnya adalah posisi yang bertentangan. Jika protes benar-benar tidak menghasilkan apa-apa, biarkan saja. Jika mereka cukup kuat untuk membawa perubahan, menekan mereka jelas merupakan tindakan otoritarianisme atas nama negara yang lalim.
Kenyataannya adalah protes mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan. Hal ini terlihat jelas pada Arab Spring, dimana masyarakat Mesir turun ke jalan menuntut kebebasan dan martabat setelah puluhan tahun mengalami penindasan di bawah pemerintahan militer.
Meskipun hanya ada harapan dan sekilas demokrasi, aspirasi-aspirasi ini digulingkan dengan kekerasan oleh kekuatan-kekuatan yang sudah mengakar: negara militer, pengaruh regional, dan aktor-aktor internasional.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Bersama-sama, mereka membongkar kemajuan demokrasi yang dicapai di Mesir.
Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa upaya untuk menekan protes bermula dari ketakutan akan potensi transformatif yang mereka miliki.
Negara-negara memahami bahwa para pengunjuk rasa, jika bersatu dalam visi dan tekad, dapat menantang status quo dan membawa perubahan substantif.
Inilah sebabnya mengapa penindasan seringkali menjadi taktik yang dipilih oleh mereka yang berkuasa, yang bertujuan untuk mempertahankan cengkeraman mereka pada hak istimewa.
Para pengunjuk rasa mahasiswa yang mengadvokasi divestasi dan berdiri dalam solidaritas dengan Palestina di seluruh universitas di Amerika Utara memahami risikonya.
Awalnya, gerakan di Universitas Columbia dan lainnya dimulai sebagai protes terhadap dukungan AS terhadap genosida di Gaza dan pendudukan Israel.
Namun tindakan keras terhadap perkemahan mengubahnya menjadi perjuangan yang lebih luas untuk kebebasan sipil.
Saat ini, gerakan tersebut, yang mencakup hampir 140 kampus di seluruh Amerika Utara, bertujuan untuk membela hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul, dan hak untuk melawan genosida di Gaza.
Baca juga: Mahasiswa Bekasi Gelar Aksi Bela Palestina di Depan DPRD Kota Bekasi
Mengapa Protes Kampus Dipandang Sebagai Ancaman Terhadap Tatanan Global
Namun mengapa terdapat respons institusional dan polisi yang begitu agresif terhadap protes damai ini? Apa yang dipertaruhkan, dan mengapa pihak administrasi universitas begitu terpicu oleh perkemahan ini?
Mahasiswa dan dosen dengan cepat menyadari bahwa peristiwa yang terjadi di Gaza sangat terkait dengan pengaruh kelompok Zionis terhadap universitas, sehingga mendorong kolaborasi dengan Israel.
Di seluruh Amerika Utara, lembaga-lembaga ini melakukan investasi melalui dana abadi bernilai miliaran dolar ke perusahaan-perusahaan yang secara aktif mendukung militer Israel dalam genosida yang sedang berlangsung di Gaza.
Tanggapan keras dari universitas dan pihak berwenang terhadap protes mahasiswa lebih dari sekedar kekhawatiran atas ketertiban umum atau keuntungan finansial.
Ini adalah tentang menjaga kepentingan kuat dari mereka yang mendapat manfaat dari status quo.
Seruan untuk divestasi menantang sistem kekuasaan dan pengaruh yang tertanam kuat di dalamnya.
Siswa menemukan kesamaan yang mencolok antara Zionisme dan upaya kolonial di masa lalu, mengenali pola diskriminasi rasial, apartheid, dan kekerasan.
Penindasan Arab Spring membawa dua akibat yang jelas.
Pertama, Mesir dan negara-negara regional mengalami kemunduran dari negara demokrasi berkembang menjadi negara otoriter yang gagal.
Kedua, generasi muda yang telah merasakan kebebasan kini menunggu kesempatan untuk melakukan revolusi.
Ini adalah bom waktu dengan lintasan yang tidak dapat diprediksi.
Demikian pula, menekan protes di Amerika Utara sambil mendukung genosida Israel akan mempunyai dampak yang tidak terduga terhadap tatanan dunia.
“Palestina Merdeka” kini berdiri sebagai simbol pembebasan global dari rantai kolonialisme dan Zionisme, menyatukan mereka yang mencari masa depan di mana keadilan menang atas penindasan, dan kebebasan tidak dibatasi oleh perbatasan atau struktur kekuasaan.
Gerakan ini merupakan bukti semangat perlawanan yang gigih, yang menerangi jalan menuju dunia yang lebih adil.
Sumber: middleeasteye
[Sdz]