TAHUKAH kamu? Sejarah penjajahan air di Palestina terjadi sejak Israel menjajah Palestina pada 1948. Hal ini terus bergulir seiring dengan semakin luasnya tanah Palestina yang dirampas oleh Israel dan diakui sebagai wilayahnya.
Palestina tidak memiliki akses air ke wilayah-wilayah yang diokupasi. Israel bahkan mampu memindahkan cadangan air yang ada di wilayah Palestina ke wilayah yang diklaim bagian darinya.
Penjajahan air ini nyatanya sudah dicanangkan jauh sebelum Israel mengklaim Palestina. Pada Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919, Presiden Organisasi Zionis Internasional sekaligus Presiden Israel Chaim Weizmann mengatakan:
“Adalah hal penting yang vital untuk tidak hanya menguasai seluruh sumber air, tetapi juga (harus) mengointrol sumber air di tempat mereka.”
Pada 1964, Israel menyelesaikan pembangunan “Pengangkutan Air Nasional” (National Water Carrier) yang dibangun sejak 1953.
Proyek ini bertujuan untuk mengalirkan air dari Laut Galilea ke daerah Negev dan mengalihkan 75 persen air dari Sungai Jordan ke Israel.
Penjajah Israel memperbolehkan Syria dan Jordan untuk ikut menggunakan air tersebut, dengan rincian masing-masing sebanyak 160 juta meter kubik dan 320 juta meter kubik per tahunnya, tetapi penduduk Palestina tidak diperbolehkan ikut menikmati fasilitas air yang diambil dari tanahnya ini.
Sejak 1967 penduduk Palestina semakin kesulitan dalam mengakses air, seiring dengan dijajahnya wilayah Tepi Barat.
Zionis menerapkan hukum berlapis yang sebelumnya telah berlaku di Palestina pada masa Utsmaniyah, penjajahan Inggris, Jordan (Tepi Barat), dan Mesir (Gaza), terkait lahan dan penggunaan air.
Pada masa Utsmaniyah misalnya, terdapat aturan tentang bisa berpindahnya kepemilikan suatu tanah apabila tidak digunakan dalam waktu tertentu.
Pihak lain yang mengelola tanah itu, dapat mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya.
Akibat keringnya air, lahan-lahan pertanian milik Palestina menjadi terbengkalai.
Israel lalu menggunakan hukum lama Utsmaniyah untuk mengambil alih kepemilikan tanah-tanah warga Palestina tersebut.
Baca Juga: Hangatkan Palestina dengan Berpartisipasi dalam Program Winter Relief 2021
Kamu Harus Tahu, Sejarah Penjajahan Air di Palestina
Israel juga mengeluarkan sejumlah perintah Militer (Military Order) untuk mengontrol sumber air dan tanah di wilayah yang dijajah.
Israel mengeluarkan Military Order 92 pada 15 Agustus 1967 yang mengatur seluruh pengaturan air menjadi wewenang militer Israel.
Selanjutnya, pada 19 November 1967, Israel mengeluarkan Military Order 158 yang isinya meralang penduduk Palestina membangun instalasi air tanpa izin dari Israel, dan jika ini terjadi, akan disita.
Hukum ini hanya berlaku untuk penduduk Palestina, dan tidak berlaku untuk pemukim illegal Zionis.
Pada 1966, Israel juga menguasai West Bank Water Department (WBWD) yang awalnya dikuasai oleh Jordan.
Pada 1982, kontrol air bagi penduduk Palestina sepenuhnya dikuasai oleh Mekorot, otoritas air nasional Israel yang mengurusi persoalann air di seluruh jajahan Israel.
Otoritas ini menghancurkan banyak sumur penduduk Palestina, dan menggali lebih dalam sumur-sumur Israel sehingga menyebabkan keringnya sumur-sumur lama milik Palestina.
Akibatnya, pada 1986, warga Palestina mengalami kelangkaan air akibat pengurangan kuota air sebesar 10 persen.
Kebijakan air di Palestina diharapkan banyak berubah pada perjanjian Oslo I tahun 1993 dan Perjanjian Oslo II tahun 1995.
Melalui perjanjian ini, meski tidak ada rincian yang jelas mengenai pengelolaan air di Tepi Barat, tetapi Israel mengakui adanya hak air bagi penduduk Palestina di wilayah Tepi Barat.
Israel menyatakan bertanggung jawab untuk menyediakan air dengan jumlah yang disepakati untuk penduduk Palestina.
Dengan perjanjian ini pula, Israel mendapatkan alokasi 80 persen dari air yang ada di Tepi Barat dan sisianya untuk warga Palestina.
Meski pada kenyataannya, Palestina hanya mendapatkan 75 persen air dari jumlah yang diatur dalam perjanjian.
Melalui perjanjian ini juga dibentuk Palestine Water Authority (PWA) yang akan mengurusi permasalahan air bagi penduduk Palestina.
Namun, dalam kenyataannya, warga Palestina harus kembali menggigit jari akibat mandulnya perjanjian dan otoritas ini.
Dalam tahap implementasi, PWA tidak diberikan akses untuk mengontrol air di wilayah Tepi Barat yang dijajah Israel (area C), meskipun di dalam perjanjian disepakati bahwa:
“Permasalahan air, sebagaimana kekuatan sipil lainnya, dalam beberapa waktu menjadi kewajiban penuh Otoritas Palestina […] Jurisdiksi terhadap air dialihkan kepada Otoritas Palestina (OP) secara penuh dan tepat waktu […]”
Israel tidak memberikan akses air bagi OP untuk mengurusi permasalahan air di Tepi Barat yang dijajah sebagaimana yang diatur melalui perjanjian Oslo.
Israel juga tidak mengizinkan penduduk Palestina untuk membangun sumur yang baru ataupun sekadar memperbaikinya tanpa adanya izin dari Israel.
Dalam mengurus perizinan pun, Israel memberlakukan birokrasi yang berbelit dan mayoritas berakhir ditolak.
Hanya sedikit izin yang dikeluarkan oleh Israel agar warga Palestina bisa mendapatkan air melalui sumur.
Secara intensif, Israel menghancurkan sumur-sumur yang ada di Palestina.
Ini semua bukan tanpa alasan. Israel ingin merampas kedaulatan penduduk Palestina tidak hanya dengan mengambil tanah-tanah mereka, tetapi juga menguasai air yang menjadi kebutuhan pokok setiap manusia.
Penghancuran dan penghilangan sumber air penduduk Palestina ditujukan untuk mengusir paksa penduduk Palestina yang mendiami wilayah-wilayah tertentu.
Sabotase air juga menjadi bagian dari upaya untuk memiskinkan Palestina, sebab dengan terbatasnya air hanya untuk keperluan konsumsi, penduduk Palestina kehilangan kemampuan untuk mengairi lahan-lahan pertanian mereka, juga untuk konsumsi hewan ternak mereka.
Subhanallah, melihat kondisi ini, bagaimana Sahabat Muslim akan bereaksi? Semoga Allah subhanahu wa taala senantiasa melindungi saudara-saudara kita di Palestina.[ind]