MA’RUF dan mungkar kerap disebut dalam Al-Qur’an. Setidaknya ada 39 kali diulang dalam 12 surat. Sayangnya, tak semua kita paham tentang dua kata itu.
Ma’ruf secara bahasa artinya yang dikenal. Artinya, kebaikan yang sudah masyhur. Apa pun bangsa, adat, budaya, dan agamanya; ma’ruf menjadi kebaikan yang disepakati secara tidak tertulis.
Begitu pun sebaliknya, mungkar merupakan keburukan yang juga masyhur dan disepakati secara tidak tertulis.
Contoh, berbakti kepada orang tua. Semua orang memahami bahwa berbakti pada orang tua merupakan kebaikan. Dan sebaliknya, durhaka pada orang tua merupakan kemungkaran.
Contoh lain tentang ma’ruf adalah kebersihan, kesehatan, peduli terhadap lingkungan hidup, menyayangi makhluk hidup, menghormati nilai kemanusiaan, dan lainnya. Dan hal yang sebaliknya merupakan kemungkaran.
Dalam Al-Qur’an, perintah untuk mengajak atau menegakkan yang ma’ruf selalu diiringi dengan mencegah yang mungkar. Karena keduanya seperti dua sisi dalam satu koin yang tidak bisa dipisahkan.
Dalam istilah yang lain, ma’ruf termasuk dalam etika dan akhlak. Kebaikan universal ini didorong oleh fitrah manusia yang secara sunnatullah cenderung kepada yang baik itu.
Di bawah itu adalah peraturan, hukum, undang-undang, dan sejenisnya. Jadi, ma’ruf atau etika menjadi ruh dari hukum yang tertulis itu.
Jadi, kalau sebuah negeri, daerah, kampung atau kota yang warganya beretika dan berakhlak, maka hukum nyaris tak dipakai.
Contoh, meski tidak ditulis di setiap pagar rumah larangan buang air kecil atau besar, tidak ada orang yang melakukan itu. Karena itu sudah masuk dalam etika.
Meski tidak ditulis pada sebuah mobil yang terparkir ‘dilarang mencoret-coret mobil ini’, tidak ada orang yang melakukan hal itu.
Meski tidak ditulis di sebuah pohon buah ‘larangan memetik buah tanpa izin’, tidak ada orang yang memetik, karena memang bukan hak mereka.
Meski tidak ditulis di baju seorang gadis ‘larangan mengganggu gadis ini’, tak ada orang yang ‘kreatif’ melakukan gangguan.
Meski tidak ditulis di semua rumah, toko, dan lainnya: ‘dilarang mencuri di tempat ini’, tak seorang pun yang ingin mencuri.
Itulah sesuatu yang ma’ruf atau etika. Dan hal itu pula yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling mulia di banding makhluk yang lain.
Sebaliknya, jika tidak ada etika yang berlaku di masyarakat, maka hukum menjadi alat andalan atau hal yang dicari-cari untuk mencederai pihak lain.
Di masyarakat yang buruk seperti ini, jangan heran jika ada orang yang melanggar etika, kemudian berdalih bahwa tak ada aturan tentang pelanggaran itu.
Misalnya, seseorang yang buang air kecil di gerbang pintu rumah orang lain. Ketika ditegur, si pelaku mengatakan, “Kan tak ada aturan yang melarang itu!”
Islam menegaskan untuk selalu mengajak manusia menjunjung tinggi etika. Yaitu, dengan mengajak kepada yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.
Saling mengajak satu sama lain kepada yang ma’ruf ini akan menjadikan etika menjadi tegak di masyarakat. Tanpa harus direpotkan dengan seribu satu peraturan dan hukum yang jelimet.
Perhatikanlah di wilayah yang masyarakatnya sangat Islami, ketika azan berkumandang, semua toko ditinggalkan pemilik dan pembelinya untuk menunaikan ibadah. Tanpa sang pemilik toko khawatir kalau ada dagangannya yang akan hilang.
Dan di masyarakat yang Islami pula, seorang gadis dengan nyaman berjalan sendiri, tanpa khawatir akan ada kejahatan yang dialaminya.
Di masyarakat yang Islami pula, semua pihak yang berbeda termasuk dalam agama; tidak merasa takut kalau mereka akan mendapatkan gangguan selama mereka juga menjunjung etika.
Inilah buah dari dakwah, yaitu mengajak orang untuk menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar.
Namun sebelum mengajak, kitalah umat Islam, yang lebih dahulu melaksanakannya. [Mh]