SABAR merupakan kata kunci suksesnya seorang guru. Karena, yang ia olah itu bukan barang, tapi manusia dengan plus minusnya.
Ada hal menarik dari perjalanan dakwah Imam Syafi’i rahimahullah. Ulama yang wafat di usia 54 tahun ini punya seorang santri yang ‘super lambat’ nalarnya. Santri itu bernama Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Murodi.
Namun begitu, Imam Syafi’i begitu sabar mengajarkan Rabi’. Ulama yang hijrah ke Mesir di usia 49 tahun ini selalu menanyakan ke santri-santrinya, “Apa sudah paham?”
Dari sekian banyak santri, hanya Rabi’ yang menjawab, “Belum, Guru!”
Imam Syafi’i pun mengulangi penjelasannya. Beliau menanyakan lagi, “Apa sudah paham?” Lagi-lagi, Rabi’ menjawb, “Belum, Guru!” Jawaban belum itu berulang hingga 39 kali.
Karena malu, Rabi’ pernah keluar dari ruang majelis belajar. Ia merasa malu karena ‘berbeda’ dengan para santri lain.
Meski begitu, Imam Syafi’i tidak pernah bosan. Ia mengajak Rabi’ untuk belajar secara privat. Di situlah momen-momen yang akhirnya Rabi’ bisa menggali ilmu yang lebih dalam lagi dibandingkan santri-santri lain.
Rabi’ belajar dengan Imam Syafi’i sejak usia 10 tahun. Perbedaan usianya dengan Imam Syafi’i terpaut 24 tahun.
Meski bernalar ‘lambat’, Rabi’ tidak pernah putus asa. Sang guru pun terus memotivasinya untuk terus semangat belajar.
Bahkan, Rabi’ memutuskan untuk menjadi pelayan gurunya. Hal ini agar ia bisa lebih dekat lagi belajar secara khusus dengan Imam Syafi’i.
Ketika Imam Syafi’i hijrah ke Mesir di usia 49 tahun, Rabi’ juga ikut. Saat itu usia Rabi’ 25 tahun. Ia selalu mendampingi gurunya kemana pun menetap.
Di Mesir, ada sebuah masjid terkenal yang bernama Masjid Amru bin Ash. Di tempat itulah Imam Syafi’i mengajar. Dan di tempat itu pula, Rabi’ selalu mengumandangkan azan.
Ternyata, azan yang dikumandangkan Rabi’ begitu istimewa. Suaranya begitu merdu dan menggugah hati. Imam Syafi’i mengatakan, “Sekiranya ilmu bisa berwujud makanan, maka aku akan rida menyuapi Rabi’ sesuap demi sesuap hingga ia kenyang.”
Di lima tahun penghujung usia Imam Syafi’i, ia pernah mengatakan kepada Rabi’, “Wahai Rabi’, tugasku hanya sebagai guru yang menyampaikan ilmu. Sementara yang memberikan ilmu kepadamu adalah Allah subhanahu wata’ala. Mintalah dengan sungguh-sungguh kepada Allah untuk dimudahkan.”
Kali ini, Rabi’ begitu memahami apa yang disampaikan gurunya secara khusus itu. Ia rajin berdoa kepada Allah untuk dimudahkan memahami pelajaran.
Benar saja, apa yang diusahakan Rabi’ dan gurunya sangat berhasil. Karena kemampuan azannya, Rabi’ diangkat sebagai guru untuk para muazin di Masjid Amru bin Ash itu.
Ia pun terus belajar dan melayani gurunya dengan sepenuh hati. Kalau Imam Syafi’i sakit, nyaris tak ada orang yang paling dekat dan siap melayani, kecuali Rabi’.
Bukan itu saja, kedekatannya dengan Imam Syafi’i menjadikannya dipercaya untuk menulis apa yang menjadi ilmu-ilmu Imam Syafi’i ke dalam lembaran kertas. Termasuk kitab fenomenal Imam Syafi’i yang berjudul Al-Umm.
Setelah Imam Syafi’i wafat, Rabi’ terus belajar dan cepat memahami ‘warisan’ ilmu gurunya yang super banyak itu.
Tidak kurang dari 200 pakar yang belajar kepada Rabi’ tentang riwayat-riwayat ilmu Imam Syafi’i. Di antara mereka ada Imam Abu Daud, An-Nasai, dan Ibnu Majah.
Rabi’ bin Sulaiman memiliki umur yang panjang. Inilah kehendak Allah agar perannya mengajarkan ilmu-ilmu yang diwariskan Imam Syafi’i bisa lebih luas lagi tersampaikan. Ia wafat di usia 96 tahun.
**
Sabar merupakan harta paling bernilai seorang guru kepada murid-muridnya. Siapa sangka, seorang murid yang terkesan ‘paling lambat’ nalarnya, melalui kesabaran guru, justru tumbuh menjadi sosok yang paling paham tentang ilmu yang ia terima dari gurunya. [Mh]