ALKISAH seorang raja tampak begitu sedih sejak sakitnya permaisuri. Semua tabib terbaik telah ia datangkan. Segala obat sudah ia berikan. Tapi, permaisuri akhirnya pergi untuk selamanya.
Selain para petugas istana, kini ia hanya tinggal bersama dua puteranya yang masih kecil. Ia rawat dua pangeran kecil dengan begitu baik.
Tapi, sesuatu yang tidak ia inginkan datang juga. Si sulung mengalami demam tinggi. Tubuhnya kerap menggigil. Badannya sering kejang-kejang.
Lagi-lagi, segala yang pernah dilakukan terhadap permaisuri juga diusahakan untuk si pangeran sulung. Tapi, takdir berkehendak lain. Pangeran sulung juga pergi untuk selamanya.
Sang raja menangis. Ia menangis bukan sekadar karena ditinggal buah hatinya. Tapi karena apa yang ia miliki tidak mampu memberikan kekuatan apa pun dalam hal kematian.
Selang beberapa pekan setelah dua musibah beruntun itu, pangeran bungsu pun mengalami sakit yang mengkhawatirkan. Ia membayangkan akan ditinggal pergi oleh semua yang ia cintai, termasuk si bungsu.
Seorang tabib mengatakan, “Ada sebuah tanaman obat yang sangat mujarab. Lokasinya berada di luar kerajaan ini. Dan itu satu-satunya tanaman yang masih ada.”
Tabib pun menjelaskan perkiraan lokasi tanaman tersebut. Jauh di tengah hutan.
Raja begitu penasaran. Ia memutuskan untuk ikut mencari tanaman obat mujarab itu. Berapa pun biaya yang harus ia keluarkan, demi tanaman itu, akan ia tebus.
Perjalanan panjang pun bergulir demi menemukan sebuah tanaman mujarab. Akhirnya, raja dan beberapa pengawalnya berhasil menemukan lokasi yang dimaksud.
Meski di dalam hutan, ternyata, tanaman itu ada pemiliknya. Seorang nenek tampak begitu tekun membersihkan tanah-tanah di sekitar tanaman itu. Ia pun menyiramnya dengan perlahan.
“Maaf, Nek, apakah tanaman ini milik Anda?” tanya sang raja kepada si nenek.
Sang nenek tertegun menyaksikan orang-orang di hadapannya. “Iya, tanaman langka ini memang milik saya. Saya merawatnya sejak masih sangat kecil,” jawab si nenek.
“Saya akan beli, berapa pun harga yang Nenek jual,” ucap sang raja lagi. Untuk lebih meyakinkan, sang raja memerintahkan pengawalnya untuk memperlihatkan tiga peti uang emas.
“Uang ini untuk Nenek, jika Anda mau menjualnya,” tambah sang raja.
Menariknya, si nenek tidak melihat serius tiga peti uang emas itu. Ia lebih serius menatap kegusaran wajah sang raja.
“Maaf, tanaman ini tidak akan saya jual. Berapa pun nilainya,” kata sang nenek sambil berbalik menatap lembut tanaman berdaun putih hijau di sampingnya.
“Nek, kami akan memaksa!” ucap salah seorang pengawal, begitu emosi.
“Silahkan kalian rampas. Tanaman ini tidak akan berarti apa-apa kecuali jika aku sendiri yang memetiknya,” ungkap sang nenek.
Para pengawal sontak terdiam. Begitu sang raja. Ia bingung harus berbuat apa.
“Nek, istri dan anak sulung saya meninggal dunia karena suatu penyakit. Hanya si bungsu yang kini masih terbaring sakit. Dan tanaman ini dikabarkan akan bisa menyembuhkan. Mohon, akan saya bayar berapa pun yang nenek minta, demi tanaman ini,” ucap sang raja begitu memelas.
“Aku katakan tak akan menjual tanaman ini, berapa pun yang kalian tawarkan. Aku hanya memberikan untuk yang sangat membutuhkan. Silahkan ambil, karena kalian sangat membutuhkan,” jelas sang nenek yang disambut gembira sang raja.
**
Memang banyak hal yang bisa dibeli dengan uang. Tapi, uang bukan segalanya. Uang tidak menjamin sehatnya seseorang. Uang juga tidak memastikan panjangnya usia seseorang. Bahkan uang pun tidak mampu menjadi kunci bahagianya hidup seseorang.
Bahagia itu ada pada rasa syukur dan sabar kita. Jadikanlah dua hal itu seperti dua sayap seekor burung untuk bisa terus terbang melalui suka dukanya kehidupan. [Mh]