TAMU itu datang bersama seribu keberkahan, rahmah, dan ampunan Allah. Andai semua keistimewaan itu terlihat oleh tuan rumah.
Menerima tamu merupakan hal biasa di masyarakat kita. Sayangnya, tamu kadang diposisikan sebagai yang memerlukan bukan yang menguntungkan.
Hal inilah yang kadang menjadikan urusan untuk tamu menjadi rumit. Tamu tidak boleh datang di sembarang waktu. Harus ada janjian, dan kalau pun sudah datang jangan merepotkan.
Semacam protokoler ini menjadikan orang enggan untuk bertamu. Orang baru akan bertamu kalau sudah mantap sekali dengan urusan yang sangat penting, bukan sekadar berkunjung.
Mindset menganggap posisi tamu seperti ini rasanya bukan bagian dari ajaran Islam. Karena tamu dalam Islam merupakan pihak yang akan membawa keuntungan untuk tuan rumah, bukan yang merugikan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan, “Apabila tamu masuk ke rumah seorang mukmin, maka masuk pula bersama tamu itu seribu rahmah dan seribu berkah. Allah akan mencatat untuk tuan rumah itu pada setiap suap makanan yang dimakan oleh tamunya seperti pahala haji dan umrah.” (HR. Dailami)
Nabi Ibrahim alaihissalam dikenal sebagai orang yang paling memuliakan tamu. Keunggulan itu bahkan diabadikan dalam Al-Qur’an.
Dalam Surah Az-Zariyat ayat 24-27 Allah berfirman, “Sudahkah datang kepadamu (Ya Muhammad) cerita tamu Ibrahim yang dimuliakan?”
Ayat ini juga menyebutkan bagaimana Nabi Ibrahim secara diam-diam meminta kepada keluarganya untuk menyiapkan hidangan istimewa berupa daging sapi muda yang dibakar. Padahal para tamu itu sama sekali tidak dikenal oleh Nabi Ibrahim.
Inilah teladan dari Bapak para Nabi tentang bagaimana menerima tamu. Ia memuliakan tamu seolah tamu itu orang paling ia cintai dan hormati. Ia memuliakan tamu seolah tamu itu membawa begitu banyak keuntungan.
Belakangan baru diketahui Nabi Ibrahim kalau tamu-tamu yang berkunjung itu para malaikat yang menyerupai manusia.
Kalau kita membayangkan tamu yang datang membawa begitu banyak berkah, rahmah, dan ampunan Allah, tentu kita akan melakoninya dengan penuh gembira.
Kita akan membuat sang tamu senyaman mungkin. Seolah mereka sedang berada di rumahnya sendiri. Ia merasa betah dan tertarik untuk datang lagi.
Sayangnya, kehidupan materialis ala Barat kadang tanpa terasa menggiring kita ke bayangan yang salah tentang tamu.
Mulai dari desain rumah yang seolah tak memberikan kemudahan untuk bertamu: pagar yang tinggi dan tertutup, hingga kemunculan kita bersama orang sekitar yang begitu langka.
Kalau saja orang mengetahui betapa untungnya dikunjungi tamu, boleh jadi, ia akan berharap selalu ada tamu di rumahnya. [Mh]